KinFi (biKIN fanFIction) Bagian 1

KinFi (Bikin Fanfiction)
Re: Zero Kara Hajimeru Isekai Seikatsu (Rem Ver)
Halo semuanya! Penulis kesayangan akhirnya kembali lagi di segmen baru dari AniBlog! Yaitu KinFi, Bikin Fanfiction!
Nah, pada kesempatan kali ini, penulis akan mempublikasikan Fanfic buatan penulis sendiri dari Anime yang sangat populer di tahun 2016 lalu. Apa itu?
Itu adalah Re: Zero kara Hajimeru Isekai Seikatsu!!
Bagi yang belum menonton, lebih baik tonton dulu. Karena ada beberapa Scene yang hanya dimengerti oleh orang yang sudah menonton Animenya.
Penulis membuat ini kira-kira memakan waktu sekitar satu bulan.
Sebenarnya jika tidak ada pengulangan dari awal, ini sudah selesai hanya dalam waktu satu minggu, dengan sudut pandang orang ketiga (Point of View 3).
Akan tetapi, karena penulis kurang handal dalam memakai POV 3, jadi penulis me-Rebuildnya dari awal menggunakan POV 1.
Dan kebetulan, penulis ini adalah #TeamRem. Jadi, pastinya ini adalah untuk Rem Versionnya.
Untuk yang Emilia mungkin akan penulis buat juga, mungkin.
Kalau sudah siap, kita langsung saja. Cekidot!!

Re: Zero kara Hajimeru Isekai Seikatsu (Fanfic)
Ore no Sekai (Rem Ver)
“Subaru-kun? Subaru-kun? Bangunlah. Sudah pagi” Sebuah suara panggilan lembut masuk merangsang gendang telinga. Kubuka mataku perlahan, seorang perempuan berperawakan kecil dan berpakaian maid ada di depanku. Rambut yang seakan-akan menggambarkan birunya laut membuatnya terlihat sangat manis.
Kurenggangkan otot-ototku yang terasa kaku lalu bangkit dari ranjang reyot ini. Ruangan yang terbentuk dari tembok tua yang rasanya sebentar lagi akan rubuh. Atap kayu reyot yang sudah mulai menimbulkan ‘kriet... kriet’ membuat sedikit was-was. Lantai yang lagi-lagi juga terbuat dari kayu usang berdecit, tapi anehnya tidak ada lubang sama sekali. Sebentar lagi ini penginapan ini akan hancur, itu yang kupikirkan saat pertama kali masuk. Sebenarnya aku berpikir lebih baik menyewa penginapan lain. Tapi mau bagaimana lagi, uang sangat terbatas. Bahkan tidak ada jika saja Emilia tidak memberikannya, aku tidak memiliki sepeser pun.
Sudah lama sejak aku- Natsuki Subaru. Dilempar ke dunia aneh ini, sendirian. Tidak tahu dimana dan kemana arah hidupku. Namun beruntung aku bertemu dengan seorang perempuan half-elf murah hati, walau jika pertama kalinya bertemu sifatnya akan sangat dingin, Emilia. Dan yang bersamaku saat ini adalah seorang maid berambut biru muda pendek, yang bekerja sebagai pelayan di kediaman Roswall. Namanya Rem.
“Hmh... Selamat pagi, Rem”
“Selamat pagi” Senyuman manis tersembul dari wajahnya. “Bagaimana? Apa tidurmu nyenyak?”
“Yah, lumayan...”
Aku membersihkan kotoran yang ada di mataku dan membuka mata lebar-lebar.
“Baiklah, Subaru-kun. Apa yang akan kita lakukan hari ini?” Tanya Rem.
“Sebenarnya aku ingin bernegosiasi dengan Krulcifer hari ini” Balasku yang masih setengah mengantuk sembari mengucek mata.
“Begitu...”
“Terlebih lagi, Rem...”
Kutatap mata perempuan berambut biru itu lekat-lekat. Kurasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengatakannya. “Ada yang ingin kubicarakan denganmu”
Tampaknya ia sedikit terkejut. Itu terlihat ketika Rem langsung memalingkan wajah dariku.
“Ap... Apa itu?”
“Aku...”
Uh... Setelah berpikir sejenak, mungkin lebih baik jangan tergesa-gesa. Masih ada banyak waktu. Nanti saja setelah hal yang penting selesai terlebih dahulu.
“Tidak jadi” Aku berdiri seraya berjalan mengambil jaket yang tergantung di gantungan dekat pintu kamar.
“Eeh?”
“Nanti saja, aku masih harus mempersiapkan diri untuk berbicara dengan Krulcifer”
“I...Iya...”
Kulirik Rem yang mematung di tempat. Wajahnya memerah, sambil menunjukkan gerak-gerik tanda malu. Ia menepuk-nepuk wajahnya seolah berkata dalam hati “Jangan terlalu berharap”. Aku menghela menarik napas panjang.
“Baiklah!!” Teriakku setelah beberapa saat mengumpulkan semangat. “Mari awali hari ini dengan semangat muda!!”. “Victor-.”
Dug! Tiba-tiba lantai kamar penginapan digedor sangat keras. Untung saja kayu ini masih kuat jika kekuatan pukulannya hanya seperti itu. Tapi mau bagaimanapun, sebentar lagi pasti akan rusak.
“Jangan berisik! Ini masih pagi!”
Dalam sekejap aku langsung terdiam seribu bahasa. Ap... Apa itu tadi?
“Subaru-kun, ssh...” Ujar Rem menempelkan jari telunjuk di mulut, itu isyarat agar tidak terlalu berisik.
“Aku lupa kalau kita masih di penginapan”
Mendengar perkataanku barusan, Rem tertawa kecil. Tanpa kusadari wajahku memerah ketika melihat malaikat berwajah manis tepat di hadapanku.
“Cantiknya...” Aku tidak sengaja mengatakannya.
“Hm?” Tampaknya perempuan ini tidak mendengarnya.
“T... Tidak apa-apa!”
Kemudian ia mendekati wajahku. Ekspresi yang dipampangkannya saat ini seperti bertanya-tanya dalam hatinya.
“Sekarang, bagaimana jika membereskan semua ini dan segera berangkat ke kediaman Krulcifer-sama?” Saran Rem menjauh dariku.
Untung saja ia segera menjauh. Kalau tidak, mungkin tekanan darahku bisa naik.
“Baiklah! Kerahkan seluruh semangat muda!”. “Vict-.”
Lagi-lagi lantai yang kami pijak digedor, lebih keras dari yang tadi. Bisa-bisa runtuh bangunan ini jika terus-terusan seperti itu.
“Sudah kubilang, jangan berisik!!!”

Kami berdua terdiam sambil gemetaran, lalu menatap satu sama lain dan tertawa.
Sinar mentari terik sudah nampak tepat di arah barat laut. Hal ini menunjukkan jika sekarang sudah sekitar pukul 10 pagi. Aku dan Rem sudah berjalan-jalan di sekitar pasar kota sekitar 30 menit lamanya. Bangunan di sini nampak seperti bangunan di jaman medieval dulu. Rata-rata terbuat dari batu bata dan tidak dilapisi oleh semen, apalagi cat. Lapak para pedagang juga kebanyakan hanya terbuat dari tongkat yang ditancapkan di tanah dan disusun menjadi persegi, lalu ditutupi kain di atas sebagai atap. Sangat berbeda dengan Akihabara. Pasar selalu ramai akan pengunjung dari berbagai penjuru dunia. Dan pastinya aku adalah satu-satunya manusia paling normal disini, mungkin. Orang-orang yang lewat di hadapanku sama sekali tidak dapat disebut sebagai ‘manusia’. Mulai dari serigala bertubuh manusia yang dapat berbicara, kurcaci kecil di negeri dongeng, bahkan ikan. Ya benar, ikan. Namun beberapa orang juga sama sepertiku. Tapi tentu saja, ini tidak luput dari pencuri yang sepertinya menjadi ciri khas jaman medieval dulu.

“Yo, anak muda” Seseorang menyapa dari tempatnya berdagang.
Dia adalah paman yang sering membantuku. Berpostur tubuh kekar, wajah garang dengan luka besar. Terlihat dengan jelas otot-otot yang jika dibandingkan denganku, perbedaannya akan sangat mencolok. Sifatnya bisa dibilang cukup baik jika disejajarkan dengan orang yang mirip, walau kadang berubah-ubah. Mungkin sesuai berapa pelanggan yang membeli apelnya.
“Selamat pagi, paman” Jawabku. “Bagaimana penjualan hari ini?”
“Ahh, tidak usah ditanya lagi” Paman terlihat sangat malas. Kurasa penjualan hari ini kurang begitu memuaskan. “Sangat sepi, jarang ada yang ingin sekedar datang dan membeli apel ini” Jelas paman sembari mengambil sebuah apel lalu melemparkannya ke arahku. “Ngomong-ngomong, kemana tujuanmu pergi?”
“Kediaman Krulcifer” Kutangkap apel tersebut dan langsung memakannya.
“Ooh, jadi ingin bernegosiasi ya?”
“Eh? Yah, kurang lebih seperti itu”
“Kalau begitu, kudoakan agar kau sukses”
“Terima kasih paman”. “Aku tidak punya banyak waktu lagi, jadi permisi”
“Baiklah, jangan lupa bayar apel tadi”
“Baik-baik...”

Sifat pedagang tampaknya memang tidak dapat dihilangkan. Kulambaikan tangan di udara isyarat kata sampai jumpa lagi, sedangkan perempuan berambut biru yang berjalan bersamaku menundukkan badan tanda hormat.
Tanpa disadari, waktu berjalan sangat cepat. Tidak sampai 15 menit, sebuah kerajaan megah sudah nampak di depan mata. Kastil- tidak, ini sama sekali tidak mirip dengan kastil. Lebih tepatnya rumah konglomerat yang sejajar dengan kediaman Roswall. Tapi mau bagaimanapun, ini tetaplah kerajaan. Luas tanah berbentuk persegi panjang, bangunan yang ada di depanku saat ini membuatku terpaku. Halaman luas yang hampir seluruhnya diisi oleh tanaman dan air mancur di tengahnya terasa begitu mewah. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Seluruh rencana sudah disusun dengan rapi. Dari pelajaran yang dahulu menimpa, aku semakin mengerti mengenai pola pikir orang kerajaan. Jadi, ini pasti berhasil. Kulirik Rem yang juga memampangkan wajah tegang. Ini demi keselamatan orang banyak, terutama dirinya.

“Permisi” Ucapku sopan seraya masuk ke kediaman Krulcifer.
Satu langkah masuk. Kakiku sedikit bergetar ketika menginjakkan kaki di perbatasan gerbang. Rasanya derajatku disini berubah menjadi sangat rendah seketika. Aura tajam dari kedua prajurit yang tiba-tiba mendekatiku membuatku gerogi. Satu orang berwajah datar tanpa ekspresi, sedangkan satunya lagi berwajah tenang namun siaga. Keduanya memakai armor kulit kerajaan lengkap bersama tombak di tangan.
“Selamat datang” Kata penjaga berwajah tenang itu. Kelihatannya aku sudah salah sangka, karena ternyata dia adalah orang baik. Itu terlihat dari senyuman yang tersebul dari wajah tenangnya. Akan tetapi yang satu masih tetap tidak menunjukkan ekspresi apapun. Daripada manusia, ini lebih mirip ke robot berjalan. Pandangan lurus kedepan tanpa melirik ke arahku sedikitpun. Dinginnya. “Apakah anda yang bernama Natsuki Subaru-dono?”
“Y... Y... Ya, benar”
Kelihatannya aku bisa tenang jika diantar olehnya. Ketika berpikir sedemikian, prajurit tanpa ekspresi itu tiba-tiba melirik ke arahku. Tatapan tajamnya membuatku terkejut, dan membuat bulu kuduk bergeridik seketika. Rem tampak biasa saja, seakan sudah sering melihat yang seperti ini. Rem, asal kau tahu, tatapannya macam pembunuh bayaran.
“Krulcifer-sama sudah menunggu di dalam”. “Rekanku akan mengantarkan anda masuk”
“Re... Rekan...”
Apa yang dia maksud adalah orang yang disebelahnya itu? Saat bergumam, aku tak sengaja melihat ada seseorang yang berjalan kemari. Langkah tegap dan tegas menunjukkan wibawa tinggi dirinya.
“Selamat datang di kediaman Krulcifer-sama. Saya akan mengantarkan anda masuk, Natsuki Subaru-dono”
Syukurlah, orang ini terlihat sangat baik.
“Baiklah” Sekali lagi kuambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. “Ayo Rem” Kataku menoleh pada Rem.
“Baik, Subaru-kun”

Baiklah, kedamaian sudah ada di depan mata!!

***

Seorang penjaga mengantarkan kami masuk ke dalam. Rasa gugup tiba-tiba melanda setelah berada di ambang pintu masuk ke dalam kerajaan. Pintu besar berwarna putih yang menjadi warna dasar dalam pembuatan rumah megah seperti ini seakan menunjukkan bahwa kaum bangsawan tidak sama dengan rakyat jelata. Tapi aku sudah biasa melihat ini. Hampir sama dengan kediaman Roswall. Hanya saja ini lebih banyak dekorasi dan juga lukisan yang hampir memenuhi tembok ruangan, mau itu di sisi kiri maupun kanan. Aku dan Rem dipersilahkan masuk ke dalam sebuah ruangan. Tepat pada saat mata memandang ruangan tersebut, suasana langsung berubah. Ruangan bercorak jaman purbakala dikarenakan pemilihan warna ruangan yang berwarna coklat serta berbagai peralatan berburu seperti tombak dan panah terpajang di atas api unggun yang menyala. Terlebih lagi, suhu. Entah kenapa disini terasa sedikit lebih dingin dari lorong tadi. Padahal sudah ada api unggun yang menyala, tapi itu tidak banyak berpengaruh.

“Silakan tunggu di sini selagi saya memberitahukan kedatangan anda” Aku mengangguk, kemudian penjaga itu pergi meninggalkan kami berdua.
“Subaru-kun” Bisikan kecil Rem yang hampir tidak terdengar membuatku sedikit terkejut.
“Hm?”
“Apa Subaru-kun baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat”
Kurasa perempuan berambut biru muda tersebut khawatir terhadapku. Aku tidak sadar jika wajahku terlihat pucat. Apakah ini karena tubuh yang terasa tegang?
“Aku tak apa, tidak usah khawatir” Aku mencoba tersenyum walaupun dengan sedikit keterpaksaan.
Jangan khawatir padaku, Rem. Karena sebentar lagi, pertumpahan darah akan terjadi.
“Benarkah?”
“Serahkan semuanya padaku, dan percayalah”
Kata-kata itu terlontar dari mulutku seolah-olah semuanya akan berhasil dengan sangat mudah. Tapi pastinya, halangan pasti takkan seperti itu.

Pintu ruangan terbuka sedikit demi sedikit. Setelah itu tampak seseorang berwajah tegas masuk ke dalam. Baju, topi dan sarung tangan yang dikenakan seperti menggambarkan seseorang yang tegas dan bijaksana. Mata kuning kehijauan menatap tajam lurus kedepan. Langkah tegak nan anggun membuat siapapun yang bertemu akan bertekuk lutut padanya. Itulah dia, sang putri kerajaan, Krulcifer. Dan tentunya tidak sendiri, seseorang mirip dengan manusia kucing mengikuti di belakangnya. Pakaian prajurit khusus mengingatkanku pada seseorang. Yah, itu tidak perlu dibahas lagi. Seorang pemuda berambut biru- Cih, itu membuatku muak. Walaupun tampak seperti gadis kucing, namun pada kenyataannya ia adalah seorang laki-laki, Felix. Jujur saja, awal bertemu aku sempat tertipu dengan penampilannya itu.

“Yo, Krulcifer-san. Lama tak bersua” Kataku dengan akrabnya, padahal sebenarnya tidak terlalu.
Putri kerajaan itu duduk lalu menatap tajam ke arahku. Sikap awasnya terhadap apapun memang sudah nampak dari luar, bahkan walau hanya sekilas saja.
“Apakah itu cara bicaramu di kerajaan Roswaall?”
“Maaf saja, tapi aku tidak biasa memakai bahasa formal”
“Baiklah, itu tidak terlalu penting” Pintu dibuka oleh seorang pelayan yang membawakan teh hangat dan menaruhnya diatas meja, memberi hormat kemudian pergi dari ruangan. “Jadi, apa maksudmu datang kesini? Jangan membuang-buang waktuku, langsung saja ke inti masalah”
Ucapan Krulcifer-san dingin sekali. Apakah ini untuk menjaga wibawanya itu?
“Baiklah...” Aku mengambil napas panjang-panjang. “Ini tentang pau-.”
Deg! Perasaan aneh memasuki tubuhku. Apa ini...? Tubuh tidak dapat kugerakkan. Mataku terbelalak, entah kenapa rasanya pikiranku menjadi batu. Tidak dapat bergerak... Sialan.
“Subaru-kun? Kau tak apa?”
Mendengar suara Rem, Itu artinya aku masih sadar bukan? Dan juga pandanganku sekarang ini tertuju pada putri kerajaan yang terlihat tenang-tenang saja, seakan tidak ada yang terjadi. Wajahnya tetap datar, tidak sedih, tidak senang, bahkan secuil senyuman pun tidak. Sedangkan Felix, reaksinya sama dengan Rem. Dan jujur, itu membuatku risih.
“Natsuki Subaru, kalau kau tidak segera bicara, kita sudahi pembicaraan ini”

Sial! Bagaimana caranya berbicara kalau tubuh membeku seperti ini? Disaat seperti itu, betapa terkejutnya aku ketika merasa sebuah tangan berkuku tajam mendekati jantungku. Lagi-lagi ini? Namun kali ini sungguh berbeda, karena secara medadak tangan itu menghujamkan kuku tajamnya. Mulut mengeluarkan darah segar seketika, tubuh tersungkur di tanah, merasakan sakit yang sangat luar biasa. Telingaku juga tidak berfungsi dengan baik. Suara-suara yang tadinya kudengar sekarang menjadi samar-samar. Ruangan ini sekarang menjadi banjir darah. Kulihat Rem dan Felix berada di depanku. Air mata kelihatannya mengalir dari wajah perempuan berambut biru tersebut. Ia mengangkat tanganku dan menaruhnya di pipi. Bercak darah telapak tangan membentuk di pipi Rem. Pandanganku sekarang benar-benar kabur. Apakah sekarang ini sedang musim berkabut...? Atau bagaimana? Aku sudah tidak dapat melihat wajah Rem. Hanya kegelapan yang ada didepan saat ini. Secara mendadak sekarang berganti dengan wanita berambut panjang, wajahnya tidak terlihat karena terutup oleh rambut panjang. Namun aku dapat menebak jika ia sedang tersenyum sinis ke arahku. Sebelum kembali pingsan, tidak sengaja terlihat jari tangan berkuku panjang, bersama suatu cairan kental yang menetes kebawah. Perempuan itu menjilat kuku miliknya, dan disaat itu juga sekali lagi pandanganku menjadi hitam.
Rasanya seperti kembali ke masa lalu, gambar dari berbagai tempat yang pernah kukunjungi terpampang dnegan jelas seperti slide show. Tubuhku serasa melayang di angkasa lepas. Seberkas cahaya menyilaukan masuk ke mata, membuat mataku terbuka secara perlahan. Atap putih...? Apa ini? Di mana ini? Oh ya! Bukankah jantungku-. Mataku terbelalak sesaat seraya memeriksa bagian dada, Tidak, aku tidak apa-apa. Mimpi kah...?

“Ooh, sudah bangun ternyata”
Suara ini tidak asing bagiku. Suara lemah lembut, seperti anak perempuan berumur 15 tahun. Aku menoleh ke sumber suara itu.
“Akira-neechan?” Aku menatap perempuan tersebut dan ia tersenyum padaku.
Wanita berumur 23 tahun, berambut hitam panjang, berbaju dokter, serta memiliki tanda pengenal bernama ‘Natsuki Akira’ berada di sebelahku saat ini. Bola matanya yang sama dengan milikku, berwarna hijau terang bersama pupil hitam di tengah.
“Dasar, kau memang selalu membuatku khawatir” Ucap Akira-neechan menggeleng-gelengkan kepala.
“Bagaimana caranya aku bisa di sini?”
“Tidak ingat?”. “Hari ini keluar dari rumah dan tidak kembali lagi. Ditemukan tergeletak di jalan dan pada akhirnya seseorang membawamu kemari” Wajahku tampak seperti orang ling-lung. Itu membuat Akira-neechan menghela napas panjang. “Masih tidak ingat?”
“...”
Ingatanku masih samar-samar. Kalau tidak salah, aku berbincang dengan Krulcifer-san dan... Aku mati. Raut wajahku seketika menegang tanpa sebab. Tunggu dulu! Itu berarti...
“Ada apa?” Tanya satu-satunya kakak perempuanku itu. “Tenang saja, tidak akan ada yang berbuat macam-macam padamu, aku yakin itu”
“Rem! Mana Rem?!”
“Rem siapa dia?”
Aku terdiam sejenak. Oh ya, aku bersama Akira-neechan di sini. Itu artinya, aku ada di Jepang saat ini. Jadi, Rem tidak bersamaku...
“Sebenarnya apa yang terjadi?”
“Tidak, tak apa” Kualihkan pandanganku darinya.
“Yah, senang kau sudah bangun. Tapi pekerjaan masih menunggu, aku harus pergi” Ucap Akira-neechan tiba-tiba. “Apakah baik-baik saja jika kutinggal sendirian?”
“Jangan memperlakukanku seperti anak kecil” Balasku ketus.
“Ya, ya, pria dewasa...”

Akira-neechan meninggalkanku sendiri di bilik rumah sakit. Kuamati seluruh ruangan secara seksama sebelum akhirnya kembali berbaring. Ini benar rumah sakit, aku dapat memastikannya. Ruangan yang kutempati dominan cat berwarna putih. Tampak kotak bertuliskan ‘Medicine’ dalam tulisan kanji tergantung di tempat Akira-neechan berdiri. Lemari besar juga berada di sebelah kanan ranjang. Sudah bisa dipastikan ini rumah sakit. Aku... Akhirnya dapat kembali lagi ke duniaku. Sangat senang karena dapat menghirup kembali udara segar yang sebenarnya. Tapi di saat yang sama, aku juga merasa kecewa. Seharusnya Rem ada di sisiku saat ini. Senyumnya, tawanya, kepolosannya. Sial, kenapa aku malah memikirkannya? Seharusnya Emilia lah yang membuatku khawatir, tapi... Haha, takdir memang tidak bisa berubah. Mau bagaimana lagi? Tanpa sengaja aku tertawa kecil. Eh? Tunggu dulu. Akira-neechan berkata bahwa aku ditemukan terkapar di tanah, dan mengatakannya dengan nada sanati. Padahal aku sudah hilang berhari-hari, bahkan berbulan-bulan lamanya.

“Hah, terserahlah. Memang seberapa penting hal semacam itu”

***

Hari silih berganti, bunga sakura mulai berguguran. Ini berarti tanda musim gugur akan segera dimulai. Aku sudah keluar dari rumah sakit setelah sekitar satu minggu harus rawat inap. Sangat membosankan, sangat, sangat, membosankan. Kuharap aku tidak lagi masuk ke sana lagi seumur hidup. Seperti biasa, pekerjaanku adalah menatap layar komputer dari pagi hingga siang, tentunya di kamarku sendiri. Hari ini aku membolos sekolah, karena rasa aneh masih menyelimuti. Yah, mungkin kalian dapat mengatakan bahwa itu hanyalah akal-akalanku saja, tapi aku sama sekali tidak peduli. Tiba-tiba pintu kamarku menggeser membuka perlahan, kemudian muncul Akira-neechan yang barusaja selesai mandi.

“Hari ini kau tak bersekolah?” Tanyanya mengintip dari balik pintu yang terbuat dari kayu itu.
“Tidak” Balasku singkat tanpa menoleh. “Tubuhku masih belum pulih seutuhnya”
“Begitu...”. “Jangan paksakkan dirimu”

Aku tidak menggubrisnya. Akira-neechan pergi meninggalkanku sendirian di kamar. Aku menghentikan pekerjaanku lalu bersandar di kursi, menatap langit-langit kamar berbentuk persegi. Entah kenapa, dunia aneh itu tidak dapat lepas dari pikiranku. Rem, Ram, Emilia, Roswaall, Betty, Puck, dan seluruh warga desa seakan menjadi momok yang menghantui pikiranku. Padahal sudah kembali ke sini, tapi kenapa aku malah bersedih? Sialan, aku sangat ingin kembali ke sana. Bercanda tawa dengan anak-anak di sana. Melihat senyuman Rem yang selalu menyemangatiku di saat sedih. Apakah... Tidak ada cara kembali ke sana? Awalnya kukira itu hanyalah mimpi belaka, tapi kenyataannya tidak. Kalau begitu, seharusnya jika tidur sekarang ini, aku dapat kembali lagi ke sana. Tapi, kelihatannya itu tidak mungkin.

“Aah!! Bagaimana ini!!” Aku tak sengaja berteriak kencang.
“Subaru, ada apa?”
Ah, aku berteriak. Teriakanku memang cukup keras, tapi bagaimana bisa terdengar dari bawah, sedangkan aku ada di lantai dua?
“Ti... Tidak ada!!”

Setelah menjawab terbata, aku kembali bersender dan menatap kembali langit-langit sambil memasang wajah kecewa. Padahal aku sudah kembali, tapi kenapa rasanya sesakit ini...?
Deg! Jantungku mendadak terpacu. Aliran darah memompa cepat. Berkumpul di satu titik, membuat otakku serasa ingin meledak. Apa ini? Rasanya ada yang sedang bermain dengan jantungku. Sembari masih menahan sakit di kepala dan dada, aku mencoba bangkit. Namun, seketika tubuhku terhempas kembali ke tanah. Darah kental keluar dari mulut membuat bercak darah merah. Lantai kayu yang tadinya berwarna kekuningan, kini berubah menjadi lautan darah. Baru kusadari yang kumuntahkan bukan darah biasa. Bercak darah itu tiba-tiba bergerak dengan sendirinya. Membentuk tulisan kanji yang berarti ‘Enyah dari kehidupan asli, kembalilah kemari. Seseorang akan mengantarkanmu’. Setelah membacanya, sekelebat bayangan muncul di depanku yang sedang terkapar ini, entah darimana asalnya. Semuanya berubah menjadi gelap gulita. Tidak ada setitik cahaya pun sejauh mata memandang.

***

Kepalaku terasa berat. Tubuh masih terbujur kaku di tanah. Pengelihatan yang awalnya hanya hitam, kini mulai tampak. Eh? Apa ini awan? Luar ruangan? Seberkas cahaya menyilaukan menusuk mata. Yang ada di depan saat ini ialah warna biru bercampur putih kapas. Pendengaranku lama-kelamaan juga semakin jelas lagi. Kelihatannya ini kawasan padat, penuh keramaian. Bersama dengan suara kendaraan yang memekakan yang memekakan telinga. Di mana aku sekarang? Haha, mungkin sekarang ini aku sedang berada di atap gedung daerah Akibahara. Walaupun masih setengah sadar, aku dapat merasakan angin sepoi-sepoi berhembus lembut menerpa. Perasaan nyaman apa ini? Kurasa kepalaku sedang berada di sebuah banta-. Tidak, ini bukanlah bantal. Rasa empuk dan nyaman ini... Paha seorang perempuan?

“Sudah bangun?”
Mataku terbelalak, bersamaan denganku yang langsung tersadar sepenuhnya setelah mendengar suara yang tidak asing lagi di telinga.
“R... Rem? Apa itu kau?” Tanyaku terbata-bata.
"Sudah lupa dengan suaraku?” Aku belum berani untuk memalingkan wajah ke arahnya. Ucapannya barusan terdengar seperti seseorang yang sedang senang sekaligus tertawa kecil. “Yah, maklum saja. Subaru-kun sudah pergi dari sana selama dua bulan penuh”
Tubuhku mematung terdiam selama beberapa saat. Aku menengok ke sumber suara tersebut. Ternyata dugaanku memang benar. Seorang perempuan manis berambut biru terang tersenyum ketika aku menoleh ke arahnya. Tanpa kusadari, air mata turun perlahan, tidak percaya apa yang ada di depan mataku saat ini.
“Rem!!”
Pergerakan cepat datang dariku, aku memelum Rem erat-erat. Kelihatannya ia sedikit terkejut karena aku mendadak memeluknya. Tapi... Aku tidak peduli. Akhirnya dapat bertemu kembali dengannya, perempuan yang selalu menemaniku dimanapun dan kapanpun.
“Uuh... Uh... Aku tidak bisa...”
“Tidak bisa?”
“Baru kusadari kalau aku tidak dapat meninggalkanmu”
“Subaru-kun...” Lagi-lagi senyuman manis tersembul dari wajahnya. “Aku juga, tidak bisa meninggalkanmu” Ucapannya barusan hampir tidak dapat terdengar olehku.
“Yang lebih penting” Kulepaskan pelukanku. “Bagaimana caranya kau bisa datang ke sini?”
Apakah cara yang terngiang-ngiang di kepalaku tadi itu benar-benar bekerja? Atau ia ke sini dengan cara yang lain?
“Ah, apa harus mulai dari situ?” Perempuan berambut biru itu mengatupkan mata, seakan mempersiapkan diri untuk bercerita, kemudian membukanya kembali. “Sang Penyihir menolongku”
“Sang Penyihir” Sekilas terlintas di kepalaku tentang ‘Sang Penyihir’. Aku dibuat kaget olehnya. “Maksudmu-!"
“Benar”. “Tidak usah khawatir, karena Sang Penyihir ternyata tidak seburuk yang kita kira”
Ekspresi wajah menunjukkan bahwa aku sedikit tidak mengerti. Walau tidak seburuk yang kita kira, Sang Penyihir tetaplah Sang Penyihir. Seseorang yang ditakuti oleh seluruh masyarakat di dunia yang konon katanya, jika ia bangkit kembali, dunia akan kiamat. Apakah itu bisa disebut dengan ‘Tidak seburuk yang kita kira’?
“Jadi... Sang penyihir telah bangkit...”
Medengar perkataanku, Rem tertawa kecil. Aku mengerutkan dahi karenanya. Kenapa dia? Apa ada yang salah dengan ucapanku barusan?
“Sudah kuduga Subaru-kun pasti tidak mengerti apa yang kuucapkan”
“Eeh?”
“Subaru-kun barusan berkata kalau Sang Penyihir bangkit lagi bukan?” Kuanggukan kepalaku setelah beberapa detik. “Sebenarnya, Sang Penyihir tidak disegel, apalagi mati. Dia masih ada di dunia, lebih tepatnya diantara kita”
“Kita?”
“Aku, Subaru-kun, Emilia-sama, Onee-san (Kakak perempuan), warga desa, dan lain sebagainya. Sudah dilindungi oleh sang penyihir sejak dulu”
“Lalu, siapa Sang Penyihir itu sebenarnya?”
“Puck”

Jawaban singkat Rem membuat mataku terbelalak. Tidak, ini tidak mungkin. Puck binatang kecil seperti itu adalah Sang Penyihir? Pertemuan dengan Sang Penyihir akan terus terkenang, takkan pernah hilang sampai kapanpun. Dan kata-kata yang kudengar darinya adalah “Telah membunuh anakku”. Yang dimaksud adalah Emilia. Jadi intinya, Puck adalah ibu Emilia? Pikiranku bercampur aduk mencoba memahami kejadian yang telah dialami olehku. Semua dikumpulkan menjadi satu dan mulai menyusunnya. Uh, tidak bisa. Otakku tidak terlatih untuk itu. Di sekolah saja, pelajaran yang menggunakan logika kebanyakan tidak dapat kujawab. Tiba-tiba saja kepalaku terasa sakit. Darah kembali terpompa, adrenalinku terpacu. Sebuah perasaan aneh lagi-lagi merasuki tubuhku. Sial! Jantungku! Jangan-jangan! Aku meraba-raba bagian dada. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh, jantungku serasa dipermainkan. Seperti ribuan jarum menusuk-nusuk tanpa henti. Sakit... Tubuhku... Uh, kelihatannya aku akan pingsan lagi, atau mati. Sekarang aku tak lagi berada di dunia Rem, jadi kekuatanku sebelumnya tidak dapat dipakai lagi. Sialan, apa maumu sekarang, hei Penyihir?

“Subaru-kun?” Suara Rem bersamaan dengan tepukan di punggung membuatku langsung tersadar. Wajahku memucat macam mayat hidup. Badanku gemetar, keringat dingin membasahi baju yang kukenakan. “Ada apa? Apa kau sakit? Kau terlihat sangat pucat”
Aku tidak langsung merespon ucapan Rem. Namun malah terpaku dalam pikiran yang sedang kacau. Kukira tadi itu adalah akhir hayatku.
“Aku... Tidak apa-apa...” Balasku menatap telapak tanganku sebentar lalu segera bangkit berdiri. “Oh ya, ngomong-ngomong Rem, bagaimana jika kau berkunjung ke rumahku?”
Kali ini wajah terkejutnya sangat terlihat, dan seketika berubah menjadi merah seperti apel yang diberi oleh paman tadi. Dengan gugup, Rem menjawab.
“Pe... Pergi ke rumah Su... Subaru-kun?”
Senang bercampur malu, menciptakan perasaan aneh dalam dirinya. Kemudian ia mengangguk pelan sembari mengetuk-ngetukkan kedua jari telunjuknya dengan kepala yang mengadah ke bawah, tidak menatapku.
“Ayo”

Aku menarik tangan Rem agar ikut bersama ke rumahku. Ah! Sebenarnya reaksiku sama sepertinya! Tapi lebih baik kutahan agar ia tidak merasa aneh denganku! Perempuan yang kugandeng tersebut tersenyum senang dan mengikutiku.
Tidak terasa, wakut sudah semakin senja. Orang-orang di sekitar rumah sudah masuk ke rumah masing-masing. Langit berwarna oranye bercampur matahari sangat memanjakan mata. Saat ini, kurasa aku berada di situasi yang dapat membuat jantung lepas seketika, begitu juga dengan Rem. Aku yakin itu. Akira-neechan, aku, serta Rem duduk di ruang keluarga sambil bercakap-cakap untuk menghabiskan waktu.

“Wah, wah, ternyata adikku ini memiliki kenalan yang sangat cantik. Kukira mustahil jika Subaru memiliki teman perempuan, apalagi kekasih” Katanya sambil merangkul pundakku.
“Lepaskan aku!” Tidak usah berkata seperti itu juga bisa bukan? Aku tahu jika itu adalah kenyataan, tapi... Ah sudahlah.
Melihat kedekatanku dengan Akira-neechan, senyum manis tersembul dari wajah Rem.
“Oh ya, Rem-chan...”. “Di mana tempat tinggalmu? Aku ingin mengunjunginya jika sempat”
“Eh? Oh?” Rem kelihatannya bingung untuk menjawabnya. Maklum saja bukan, karena tempat asalnya bukan dari sini.
Kurasa aku harus mengalihkan pembicaraan ini. “Akira-neechan, jangan menanyakan privasi orang yang barusaja kenal!”
“Hee? Apa tidak boleh?” Raut wajah Akira-neechan menjadi seperti penggoda. Yah, maklum saja, karena kelakuannya memang seperti itu sejak dulu. “Apa mungkin, kau menyembunyikan sesuatu dariku, Subaru?”
“Ap... Apa maksudmu!”
Kali ini aku benar-benar salah tingkah. Kelihatannya wajahku juga memerah. Rem yang menlihatku seperti itu menunjukkan senyumnya, tapi ini tidak seperti biasanya, ini termanisnya yang pernah kulihat. Zap! Cahaya kamera tiba-tiba muncul dari depan dan menyebabkan dirinya sedikit terkejut.
“Akira-neechan!”
“Lihat ini, Subaru” Kakakku satu-satunya itu menunjukkan foto Rem tersenyum yang diambilnya barusan. “Bagaimana menurutmu?”
“Cantiknya...” Aku tak sengaja mengatakannya.
“Su... Su... Subaru-kun...?” Kupalingkan wajahku ke perempuan berambut biru pendek yang tersipu malu.
“A... Ah!! Ta... Tadi itu-!”
“Aku sudah mengirimnya ke ponsselmu”
Akira-neechan! Bacalah waktu ketika ingin menyela pembicaraan!
“Hei! Jangan asal membuka ponsel orang lain!”
“Aku harus pergi, sampai jumpa”
“Akira-neechan!”

Ia pergi begitu saja tanpa berkata sepatah katapun.
Sekarang hanya ada dua orang di ruangan, aku dan Rem. Kami tidak mengutarakan sepatah katapun. Wajah Rem memerah sambil menunduk ke bawah. Dasar Akira-neechan, kapan sikapnya berubah? Aku tidak berani menatapnya. Ak... Aku punya fotonya di dalam ponselku sekarang... Uh, apakah harus menghapusnya? Tapi sangat disayangkan, tadi itu adalah momen terbaiknya. Aku harus memulai pembicaraan.

“Anu, Rem:
Panggilan dariku membuat Rem bergejolak sekilas.
“A... Ada apa?” Jawabnya masih menundukkan kepala.
“Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padamu” Aku menarik napas panjang. Kupikir setelah mengatakan itu, Rem akan menatapku. Tapi nyatanya ia masih menunduk. “Kenapa kau repot-repot datang kemari menemuiku? Padahal jika aku tidak ada, dunia sana juga takkan berubah”
Perempuan di depanku saat ini tidak langsung menjawab pertanyaanku. Kurasa ia sedang menghela napas untuk menenangkan perasaannya.
“Itu...”
Sedikit demi sedikit mengangkat kepalanya. Memberanikan diri untuk menatapku.
Ia langsung menatap lekat-lekat wajahku. “Karena aku mencintaimu”
Sedikit terkejut mendengar pernyataan langsung dari Rem. Aku memampangkan wajah terkejut sekaligus sedikit malu. Kali ini yang mengalihkan pandangan adalah aku. Tawa kecil keluar dari mulutku, membuat Rem terlihat seperti orang linglung yang kehilangan arah tujuan.
“Dasar...” Kuelus lembut kepala Rem. Bisa-bisanya berterus terang di saat seperti ini
“A... Apa itu aneh? Pada saat perempuan menyatakan merasaannya pada seorang lelaki?”
Aku menggeleng lalu tersenyum. “Kalau begitu, mungkin sekarang adalah saat yang tepat”
Kemudian kugenggam kedua tangannya lembut. Aku tak ingin kehilangan dirinya, lagi. Sekarang malah perasaanku yang tak karuan.
“Aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu” Ucapku.
Mata Rem terbelalak. Setelah berkata sedemikian, aku mendekatkan kepalaku.
“De... Dekat sekali...” Kubuat Rem tak berkutik dari tempatnya.
Aura di ruangan ini langsung berubah menjadi romantis. Ciuman mesraku dengan Rem menyebabkan itu. Seolah sedang ada lagu Perancis yang didengungkan disini. Walau perasaan malu masih menyelimuti, aku tetap menahannya, kemudian melepaskan ciuman tersebut.
“Tapi, kelihatannya Subaru-kun mencintai Emilia-sama...” Rem kembali mengalihkan pandangannya dariku. Ekspresi sedih terpampang di wajahnya, bercampur rambut biru laut membuat orang yang melihatnya menjadi tersentuh.
Aku mengendus pelan seraya menutup mata, kemudian membukanya kembali. “Jangan bodoh, aku sama sekali tidak mencintainya”
“Eh?”. “Ta... Tapi, semua yang kau lakukan untuk Emilia-sama-!”
“Dekat bukan berarti mencintai” Kupejamkan kembali mataku, seakan meminta kekuatan dari sang penyihir. Lalu membukanya kembali. “Aku mencintaimu, benar-benar mencintaimu”. “Kau sudah bersamaku selama ini. Selalu menemaniku dimanapun dan kapanpun itu. Memberikan semangat disaat sedih, sekarang aku baru menyadarinya kalau kau memang selalu ada untukku”
“Subaru-kun...” Air mata tanda bahagia mengalir perlahan di pipinya, kemudian aku mengusapnya dam mengelus kepalanya pelan.
“Mulai sekarang, mohon bantuannya”
“Ya”
Kami berdua saling bertatap muka. Akhirnya aku dapat mengungkapkannya. Pikiran dan hatiku kali ini sangat lega seakan-akan diriku adalah pemenang piala oscar karena sudah mendapat jawaban yang pasti.
“Oh ya, ngomong-ngomong, Rem...”
“Ada apa, Subaru-kun?”
“Anu, bagaimana cara menjelaskannya...”
Rem memiringkan kepala dengan senyuman menghiasi wajah. “Kenapa? Katakan saja”
“Ah tidak, tidak ada apa-apa” Aku tersenyum bodoh. Sempat terlintas di pikiranku, lebih baik kita tetap tinggal di sini”
Mendengar itu, Rem tampak terkejut sekaligus bingung. Lalu mengerutkan dahi tanda tak mengerti.
“Anu, yah... Itu, kau tahu. Dirimu dan aku tinggal di dunia ini, kota ini, rumah ini”
“Eeh?! Su... Subaru-kun! Ma... Mana mungkin aku melakukannya!”
“Rem, dengarkan aku” Tatapan tajamku menuju ke arah Rem dan membuatnya terdiam. Ia kemudian menundukkan kepalanya. “Duniamu, kota itu, dipenuhi dengan hal-hal supranatural yang dapat membahayakan nyawa”. “Itulah kenapa, aku mengajakmu untuk tetap tinggal di sini. Bersamaku, bersama Akira-neechan”
“Tapi Subaru-kun, kurasa itu bukanlah ide yang bagus”
Ekspresi di wajahku menunjukkan bahwa diriku kurang puas dengan jawabannya barusan. “Apa alasanmu mengatakan hal itu?”
“Sebelumnya seperti yang Subaru-kun tahu, aku ke sini karena diperintahkan oleh Sang Penyihir untuk menjemput Subaru-kun. Dan karena itu aku tidak bisa melanggar, apapun alasannya”
Walaupun berkata begitu, Rem... Aku sedikit kecewa ketika kau mengatakan itu. Harapanku adalah tinggal bersamamu, membangun keluarga, kemudian hidup bersama hingga ajal menjemput. Tapi mau bagaimana lagi bukan? Mungkin kita memang ditakdirkan di sana.
Dari suara hela napasku, Rem pasti sudah tahu kalau aku sangat kecewa. “Benar juga, kita harus kembali ke sana”. “Tapi maukah kau tinggal disini untuk satu minggu kedepan? Lalu kembali bersama ke sana”. “Sekilas aku juga teringat, ada suatu hal penting yang harus kusampaikan pada Krulcifer-san” Aku tersenyum. Dan pastinya bukan senyuman bahagia, tapi senyuman penuh keterpaksaan dan kekecewaan.
“Tidak apa Subaru-kun!” Perempuan yang ada di depanku mencoba memberikan semangat. “Setelah kembali, kita akan menyewa sebuah rumah kecil di kota dan tinggal di sana sebelum kembali ke kediaman Roswall-sama”
“Rem...”
Senyuman manis lagi-lagi tersembul dari bibir mungilnya itu. Mendadak angin berhembus dari jendela yang terbuka. Angin malam menerpa rambut biru miliknya, bersama sinar rembulan menyinari dari belakang. Seperti malaikat yang turun dari surga, aku tidak melepaskan pandangan sedetikpun dari Rem.
“Barusaja aku melihat malaikan berambut biru di depanku...” Ucapku pelan tak sengaja.
“Subaru-kun?”
“O... Oh! Ti... Tidak ada!!” Omongan Rem segera membuatku tersadar.

Untung saja ia tidak mendengar apa yang barusan kuucapkan. Lain kali, kurasa aku harus berlatih untuk tidak terkesima dengan sesuatu.
Pukul 03.00 pagi. Udara dingin menusuk hingga ke tulang sangat terasa. Apalagi sekarang berada di atap rumah. Rem dan aku sedang berada di sana. Ia tetap bersikap tenang sambil menyenderkan kepala ke bahuku, menunggu datangnya mentari pagi. Pemandangan prefektur disertai gunung berdiri megah sejauh mata memandang memang sangat cocok jika dilihat dengan mata telanjang. Ini adalah hari kedua Rem ada di rumahku. Dan ketika matahari terbit, hari kedua berganti menjadi hari ketiga. Masih ada sisa waktu sekitar empat hari lagi. Perempuan yang menyeder padaku sudah mengerjakan berbagai macam tugas rumah tangga. Seperti menyapu, memasak, mencuci dan lain-lain. Jangan pernah menganggapnya sebagai pembantu, atau terima saja akibatnya. Kami berdua melakukan banyak hal yang jika kusebutkan satu persatu, mungkin akan memenuhi satu kertas ukuran A4.

“Lihatlah, matahari sebentar lagi akan terbit” Ucapku menunjuk menggunakan jari telunjukku.
“Ya, tinggal beberapa menit lagi...”
Kami berdua saling menatap satu sama lain. Tapi... Beberapa hari lagi, kita akan pergi- ya sudahlah, kenapa harus memikirkannya? Kita akan terus bersama sampai kapanpun bukan, benar begitu, Rem? Aku tersenyum ke arah perempuan berambut biru pendek tersebut. Ia pun juga membalas senyumanku. Sinar oranye kekuningan mulai bersinar. Mentari tampak malu-malu keluar dari sarangnya. Jadi, genaplah sudah 3 hari Rem berada di sini. Aku takkan menyia-nyiakan 4 hari selanjutnya.
“Lihat itu, Subaru-kun”. “Indahnya...” Rem mengatakannya dengan nada takjub.
“Benar”. “Kira-kira, apakah kita bisa melihatnya dari kerajaan Roswall?” Tanyaku berseling sedikit candaan kecil.
“Hahaha, kenapa Subaru-kun menanyakan hal itu? Tentunya bisa. Apalagi dengan tinggi diatas ini”

Itu artinya secara tak langsung kau mengatakan bahwa rumahku ini kecil Rem. Aku menghela napas lalu tersenyum.
Deg! A... Apa ini? Tidak dapat kugerakkan. Sekujur tubuhku tiba-tiba membeku tanpa sebab. Lagi-lagi darah memompa dari jantung ke otak. Sakit yang luar biasa terjadi dalam kepalaku. Ugh... Aku yakin ini pasti ulah Sang Penyihir brengsek itu. Udara di atas sini tidak terlalu dingin, dan juga tidak terlalu hangat. Jadi bisa dibilang masih standar, mustahil ada manusia tiba-tiba menjadi bongkahan es dikarenakan udara seperti ini. Dengan susah payah, kulirik Rem yang sendari tadi sama sekali tidak bergerak sejentikpun. Apakah ia juga membeku, sama sepertiku? Tidak, ia pasti tidak membeku. Lalu kenapa malah diam saja? Rem, apa kau tidak sadar jika aku membeku seperti ini? Beberapa detik setelah berpikir demikian, pandanganku menjadi gelap gulita seketika. Kilatan bayang kejadian-kejadian lampau berada di depanku lagi seperti slide show. Tapi sekarang ini, yang ada di depan mataku adalah paman penjual apel bersama bayangan diriku. Apa ini? Bayanganku? Ingatangku? Ia menawari sebuah apel, kulihat bayanganku itu menerimanya. Namun tiba-tiba saja, paman tersebut mengeluarkan sebuah pisau daging lalu menebaskannya ke kepala bayanganku. Sontak aku langsung menggigil ketakutan. Seketika saja berubah dalam sekejap mata. Rem, Ram dan aku- maksudku bayanganku memasak di dapur. Akan tetapi, tiba-tiba saja Rem berubah mejadi Rem kedua, atau lebih tepatnya iblis dalam dirinya keluar. Ram bermaksud untuk menolong, namun tindakannya bagai menegakkan benang basah. Ia malah ikut terkena hempasan bola berduri Rem, dan tentu saja mendarat tepat di kepala. Lagi-lagi berubah dalam sekejap mata sebelum aku dapat menyaksikan kepalaku dan Ram hancur berkeping-keping. Kali ini Emilia dan bayanganku ada di sana. Aku ingat betul situasi ini. Dimana ketika berada di kamar kerajaan Roswall, aku bersender di paha Emilia-tan. Kupikir ini akan menjadi kisah tragis yang terakhir, tapi tebakanku ternyata salah. Kini, aku berada di sebuah... Bagaimana cara menjelaskannya? Ini lebih tepat jika disebut sebagai ruang hampa, karena disekelilingku hanya hitam legam.

“Di mana aku?” Tak sengaja kata-kata itu melontar dari mulutku.
“Di dunia buatanku”
Sedikit terkejut mendengarnya, aku segera mencari sumber suara tersebut. Tidak ada? Itu suara seorang perempuan tua. Walau tidak terlalu, tapi perkiraan umurnya adalah sekitar 43 tahun.
“Siapa kau?”
Aku mendengar suara langkah kaki terseret. Ini hanya tebakanku saja, tapi sepertinya aku sedang berbicara dengan seseorang bukan manusia, tapi aku sama sekali tidak peduli tentang itu. Setelah bicara dengannya, aku akan dikirim kembali ke duniaku bukan?
“Kau tahu, aku sudah lama mengamatimu...”
Berkata demikian tanpa memperlihatkan wujudmu, apa-apaan kau ini? Dan juga mengamati? Sebenarnya apa maunya dariku?
“Tunjukkanlah dirimu, lalu silakan bercerita panjang lebar padaku”
“Kau ini benar-benar lancang sekali”
Sebuah bayangan hitam seketika muncul di depanku. Mula-mula berbentuk macam kumpalan asap hitam, namun lama-kelamaan berkumpul menjadi satu dan membentuk tubuh manusia utuh. Mulai dari tangan, kepala, kaki, badan, lengan dan leher. Aku dapat melihat rambut panjangnya yang terurai ke bawah. Tinggi sekitar 166cm, tubuhnya ideal untuk seorang wanita. Tapi memang apa untungnya bagiku? Aku masih tidak dapat melihatnya karena sekujur tubuhnya seolah dilumuri dengan aspal panas, hitam legam.
“Natsuki Subaru, kau adalah seseorang yang telah lama kunanti”
Ia mendekatiku. Sontak aku langsung mundur secara perlahan. Eh? Dinding? Tunggu, di belakangku hanya ada kegelapan. Lalu apa ini? Sekarang tepat berada di depan wajahku. Di saat itu juga, wajahnya mulai terlihat. Seorang wanita berparas cantik, yah walau sudah sedikit tua. Rambut panjang berwarna abu-abu, hidung kecil serta bibir tipis menghiasi wajahnya. Bola mata berwarna merah tidak dapat dipertanyakan lagi keseramannya, menatap saja sudah membuat bulu kuduk berdiri.
Aku menelan ludah sambil menahan gemetar badanku. “Si... Siapa kau sebenarnya?” Tanyaku tergagap.
Perempuan yang ada di depanku ini tersenyum, kemudian menjauhkan wajahnya dariku.
“Sudah kuduga itu yang akan terlontar pertama kali ketika bertemu denganku”
Apa maksudnya?
“Natsuki Subaru, hikkikomori kelas atas yang bersekolah di SMA Higashizaka. Umur 16 tahun, tahun ini 17. Pemalas yang perkerjaannya hanya bermain game. Tinggal bersama kakaknya yang bernama Natsuki Akira. Orangtuanya meninggal 4 tahun yang lalu karena kecelakaan pesawat ketika akan berangkat ke Inggris”
Jujur saja, aku sedikit terkejut mendengar ia tahu seluk beluk tentang diriku.
“Masih perlu kulanjutkan?”
“Tidak...” Aku menggelengkan kepala. Apa maksudnya ini? Bagaimana bisa ia mengetahuinya?
“Seharusnya kau sudah tahu siapakah aku, dan apa maksud mendatangkanmu kemari”
Wanita tua yang ada di depan membelakangiku.
“Tidak, aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentangmu” Sebenarnya sedikit takut untuk menjawab perkataannya barusan, tapi ini demi mengetahui siapa dia sebenarnya agar mengantar kembali ke duniaku.
“Memang sudah kuduga kau ini memang bodoh”
Tubuhku bergejolak sesaat ketika ia mengatakan itu.
“Apa katamu barusan?!”
“Jangan pernah membentak pada perempuan...”
Pergerakan cepat datang darinya. Tiba-tiba saja leherku tercekik oleh tangan wanita tua tersebut yang entah bagaimana caranya bisa berbalik dengan cepat.
“Ug... Gu... Ugh...” Ia kemudian melepaskan cengraman tangan di leherku, aku terbatuk-batuk karenanya.
“Kelihatannya Rem belum bercerita banyak...”
Mendengar itu, aku langsung berdiri dan berkata,
“Rem? Apa kau kenal dengannya?”
“Asal kau tahu, aku yang menyuruhnya untuk datang menjemputmu. Kurasa ia sudah mengatakannya”
Aku mematung di tempat dengan mata terbelalak seraya mundur lagi beberapa langkah hingga menyentuh dinding tak terlihat.
“Ja... Jangan-jangan... Kau ini adalah...”
“Benar”. “Akulah Sang Penyihir itu, Satella”
Sa... Sa... Satella... Sang Penyihir...?
“Sa... Satella?”
“Ingat ini?” Katanya sambil menjentikkan jari telunjuk dan ibu jari.
Sebuah hasil tangkapan foto yang sudah dicetak dilemparkan ke arahku. Dengan sigap kutangkap barang lemparannya tersebut, kemudian melihatnya.
“Eh? Bukankah ini Puck?”
Puck adalah hewan peliharaan Emilia-tan. Ia selalu bersamanya dimanapun dan kapanpun.
“Tepat sekali”. “Kalau begitu, ini...”
Di sekitar Satella tiba-tiba muncul kumpalan asap tebal berwarna hitam sangat mirip dengan yang tadi. Lalu tak berselang lama, asap tersebut mulai hilang secara perlahan.
Ini... Ini... Aku tak percaya apa yang ada di depan mataku saat ini. Seekor kucing berwarna putih keabu-abuan, anting tampak menggantung di salah satu telinganya. Ukuran tubuhnya hanya sekitar 10cm. Apakah ini benar dirimu?
“Puck?”
“Ya, ini aku Subaru”
“Bagimana bisa...?”
Jadi Sang Penyihir, Satella itu adalah Puck? Tidak, tunggu. Kenapa aku tidak menyadarinya?
“Jadi... Kau yang selama ini mempermainkan jantungku?”
“Ya”. “Awalnya kukira kau akan cepat menyadarinya, tapi ternyata aku salah. Kau adalah tipe lelaki kurang peka terhadap sesuatu di sekitarnya”
Dengan sikapmu yang seperti itu, siapapun tidak tahu jika kau adalah Sang Penyihir.
“Jadi, Rem tahu?”
Satella menggeleng. “Tidak, ia tidak tahu apa-apa”
“Lalu, bagaimana dengan Betty? Emilia? Roswall?”
“Biar kuberitahu, hanya ada satu orang di kediaman Roswall yang mengetahui wujud asliku yang sebenarnya”
“Siapa?”
“Anakku sendiri” Segera ia kembali merubah wujudnya kembali seperti semula lalu melanjutkan kata-katanya. “Emilia”
Aku terkesiap, seakan ada sambaran petir dalam tubuhku. E... Emilia? Puck adalah ibu dari Emilia?
“Tu... Tunggu dulu, memang kalian sangat dekat. Tapi...”
“Tapi apa?” Sang Penyihir kembali mendekatiku perlahan. Aku kembali menelan ludah. “Sangat tidak peka, sampai-sampai kau tak menyadari warna rambutku”
Kuterdiam melihatnya mendekatiku. Kenapa aku bisa lupa dengan warna rambut Emilia? Kurasa bukan lupa, tapi aku malas berpikir.
“I... Itu...”
Kali ini lagi-lagi Satella berada di depanku, tepat di depan wajah. Mendekati telingaku dan berbisik pelan.
“Sama sekali tidak peka”
Tubuhku bergetar ringan sambil membayangan hal-hal buruk yang akan menimpa dalam keadaan seperti ini.
“Lebih baik kita ganti pembicaraan” Katanya seraya menjauh dariku. “Tahu apa ini?”
Ia menjentikkan jari, kemudian sebuah benda seketika berada di tangannya lalu melemparnya ke arahku. Aku menangkap barang tersebut walau hampir saja terjatuh. Bukankah ini-!
“Aku ingat-!”
“Sudah kuduga kau mengetahuinya”. “Seperti dugaanmu barusan, itu adalah tanduk”
Sama seperti milik Rem... Bagaimana bisa ia memiliki benda seperti ini? Tanduk keturunan iblis yang katanya sangat berbahaya, kalau tidak salah ada 2 orang yang memilikinya, termasuk Rem. Hanya itu yang kuketahui.
“Milik siapa ini?”
“Tebaklah pertanyaanku, perempuan berambut merah pendek”
“Perempuan... Berambut merah pendek?”
Kenapa harus menebaknya, tidak bisakah langsung menjelaskannya secara rinci? Sepintas dalam pikiranku, kurasa aku hanya mengenal salah satu perempuan berambut merah pendek.
“Jangan-jangan, ini milik Ram?”
“Tepat sekali”
Jadi tanduk ini milik kakak Rem, Ram. “Kalau tidak salah, tanduk ini dipotong oleh seseorang dari warga di desa Rem dan Ram...”
“Ternyata kau tahu banyak juga, ada harsrat yang muncul untuk meremehkanmu barusan”. “Benar, tapi aku mengambil dan menyimpannya”
“Bagaimana bisa?” Aku mengerutkan dahi.
“Hanya tinggal menghilangkan keberadaan kemudian mengambilnya diam-diam, cukup mudah”
Cukup mudah bagimu, terkecuali manusia biasa, Sang Penyihir. Kelihatannya nyaman jika menjadi Sang Penyihir sepertinya. Pikiranku tidak jelas melantur kemana-mana.
“Apa maksudmu mengeluarkan ini dan memberikannya kepadaku?”
Ia tersenyum sinis sesaat kemudian berkata dengan nada sedikit lamban,
“Iblis dalam diri Ram sudah tiada karena tanduk di kepalanya sudah lepas. Akan tetapi, Rem masih memilikinya...”
“Lantas?”
“Kau tahu apa yang akan terjadi jika tanduk itu tetap menempel?” Sempat aku berpikir sejenak, namun pada akhirnya menggeleng juga. “Iblis dalam dirinya akan terus memberontak, pada akhirnya akan menguasai tubuh, dan takkan ada yang bisa menghentikannya. Dirinya sendiri maupun orang lain”
Ucapan barusan membuat mulutku terbungkam. Rem yang ceria seperti itu... Pikiranku jauh melayang kepada peremuan berambut biru tersebut, kekasihku sendiri.
“Kau pasti bercanda bukan?” Senyuman penuh kesedihan dan keterpaksaan tersembul di wajahku.
“Tidak, aku sangat serius”
Aku kembali terpatung dengan mata terbelalak lebar. Rem... Akan menjadi iblis...?
“Jadi intinya, Rem akan berubah menjadi iblis, begitu?”
“Jika segera bertindak, itu akan membatalkan perubahannya”
“Ber... Bertindak?” Ekspresi wajah menunjukkan bahwa aku kurang mengerti apa yang dikatakannya. “Apa maksudmu?
“Ada beberapa syarat yang harus kau lakukan untuk menyembuhkan Rem” Perempuan berambut panjang tersebut menjentikkan lagi jarinya.
“Syarat?”
“Kenal siapa ini?”
Setelah menjentikkan jari, dalam sekejap selembar kertas berisi gambar berada di tangannya.
“Hmm...?”
Sepertinya aku pernah melihatnya... Tapi dimana? Aku mencoba untuk mengingat-ngingat, siapa yang ada di gambar tersebut. Laki-laki berambut hijau tua pendek... Mata bulat sempurna dengan pupil kecil tertutup oleh rambut... Struktur wajahnya sedikit berbeda dari manusia biasa. Dan pakaiannya? Tunggu, aku ingat. Aku ingat tentang dirinya. Mantel itu... Ya, tidak salah lagi...
“Betelg... Betelge... Gesu... Bukan. Betel... Betel...”. “Ah, sangat sulit untuk menyebutkan namanya! Tapi aku mengenalnya! Biasanya dia mengatakan ‘Kau ini memang pemalas’ dengan logat aneh!”
Sesudah mengatakan hal tersebut, aku sama sekali tidak menyangka reaksi Satella. Sang Penyihir bisa tertawa? Bukankah daritadi ia memasang wajah datar tak berekspresi?
“Betelgeuse Romanee Conti, itu maksudmu kan?”
“Benar! Betelgeuse!”
Terlihat Satella menghela napas sesaat.
“Tak kusangka kau mengetahuinya, tapi bagaimana bisa?” Ia mengerutkan alis tipisnya yang hampir tertutupi oleh poni panjang.
“Eh? Ah. Anu, aku juga tidak tahu bagaimana bisa tahu. Tapi yang jelas, barusaja aku mengalami dejavu”
Kalau tidak salah, aku pernah dibunuh olehnya bukan? Ingatanku tentangnya tidak terlalu jelas.
“Begitu...”
Diambilnya lagi gambar yang kugenggam, lalu menjadi abu dalam sekejap mata. Entah kenapa, berbicara dengannya ini membuat punggung terasa sedikit kaku. Aku kemudian langsung merenggangkan otot-ototku. Nyaman sekali...
“Kalau begitu, Satella-san, bagaimana jika kita kembali ke topik semula?”
“Baiklah”. “Langsung saja, hanya ada satu syarat yang perlu kau lakukan agar Rem selamat dari kutukan...”
“Katakan saja, dan aku akan melakukan apapun untuk menyelamatkan Rem”
 “Bunuh Demonic Satan”
Ketegangan langsung melanda tubuhku. Gelombang frekuensi tinggi seolah menembus kulit hingga ke otak. Bulu kudukku seketika berbaris rapih saking takutnya, bersamaan dengan keringat dingin mengucur seperti air mancur. Apakah berlebihan? Sama sekali tidak. Karena aku sudah mengalami banyak kejadian tidak masuk akal disini. Dan jika Sang Penyihir berkata sedemikian rupa, itu artinya pasti akan terjadi.
“A... Apa katamu...? Demonic... Satan...?”
Satella menangguk dengan mata tertutup. Anggukannya barusan menambah ketakutanku. Demonic Satan... Si pemimpin neraka? Aku harus membunuhnya? Yang benar saja... Manusia lemah sepertiku... Sialan! Apakah tidak ada cara lain! Aku memalingkan wajah penuh emosi dari Satella dengan tangan mengepal kuat.
“Tidak usah takut, Subaru” Entah sejak kapan, Sang Penyihir merubah dirinya menjadi seekor kucing kecil. Sekarang ia bukanlah Sang Penyihir, Satella. Melainkan binatang peliharaan kesayangan Emilia-tan, Puck. Senyuman yang sudah lama tak kulihat kini terpampang di depanku. “Aku akan bersamamu untuk melawannya”
“Benarkah!?” Tak tahu harus bicara apa, yang jelas aku sangat senang. “Tapi, kenapa kau ingin membantuku?”
“Seperti yang kau tahu, Rem sudah lama tinggal di kediaman Roswall bukan? Bahkan itu ketika Emilia masih berumur sekitar 14 tahun”
“Jadi Rem di sana pada saat umur 15 tahun?”
“Begitulah”. “Tapi Subaru, kita kesampingkan pertanyaanmu tadi” Satell- maksudku Puck. Memejamkan mata selama beberapa saat sebelum membukanya kembali. “Ada beberapa hal yang perlu kau ketahui tentang hal ini. Jadi janganlah terkejut”
“Baiklah”. “Wah, aku terkejut!”
“Belum! Dasar bodoh!” Puck menendangkan kakinya ke kepalaku. “Lagipula sudah kubilang jangan terkejut!”
“Maaf, maaf. Hanya bercanda”
Sebelum melanjutkan ucapannya, Puck membuang muka dari Subaru.
“Setelah keluar dari sini, kau akan menemukan Rem tergeletak di tanah. Tidak usah khawatir karena ia hanya pingsan”
Dan kau yang membuatnya pingsan, benar begitu Sang Penyihir? Kuanggukan kepalaku tanda mengerti.
“Aku paham”
“Kalau begitu...”
Memutar tangan membentuk lingkaran, Puck tampak seperti sedang merapalkan mantra. Gerbang antar dimensi terbuka setelahnya. Aku mematung di tempat, terlihat dengan sangat jelas tampang bodoh di wajahku.
“Ayo masuk, lalu bawa Rem ke tempat Lia”

Kupejamkan mataku seraya mengisi paru-paru dengan udara agar aku lebih siap lagi. Jantungku mulai kembali normal secara berkala. Aku... Sudah siap dengan semuanya. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam gerbang tersebut bersama Puck yang mengikuti dari belakang. Rem, tunggulah. Aku akan menyelamatkanmu...

Bersambung

Comments