KinFi (Bikin Fanfiction)
Re: Zero Kara Hajimeru Isekai Seikatsu (Rem Ver)
Re: Zero Kara Hajimeru Isekai Seikatsu (Rem Ver)
Halo semuanya! Penulis kesayangan akhirnya kembali lagi di segmen baru dari AniBlog! Yaitu KinFi, Bikin Fanfiction!
Nah, pada kesempatan kali ini, penulis akan mempublikasikan Fanfic buatan penulis sendiri dari Anime yang sangat populer di tahun 2016 lalu. Apa itu?
Itu adalah Re: Zero kara Hajimeru Isekai Seikatsu!!
Bagi yang belum menonton, lebih baik tonton dulu. Karena ada beberapa Scene yang hanya dimengerti oleh orang yang sudah menonton Animenya.
Penulis membuat ini kira-kira memakan waktu sekitar satu bulan.
Sebenarnya jika tidak ada pengulangan dari awal, ini sudah selesai hanya dalam waktu satu minggu, dengan sudut pandang orang ketiga (Point of View 3).
Akan tetapi, karena penulis kurang handal dalam memakai POV 3, jadi penulis me-Rebuildnya dari awal menggunakan POV 1.
Dan kebetulan, penulis ini adalah #TeamRem. Jadi, pastinya ini adalah untuk Rem Versionnya.
Untuk yang Emilia mungkin akan penulis buat juga, mungkin.
Kalau sudah siap, kita langsung saja. Cekidot!!
Re:
Zero kara Hajimeru Isekai Seikatsu (Fanfic)
Ore
no Sekai (Rem Ver)
“Subaru-kun?
Subaru-kun? Bangunlah. Sudah pagi” Sebuah suara panggilan lembut masuk
merangsang gendang telinga. Kubuka mataku perlahan, seorang perempuan
berperawakan kecil dan berpakaian maid ada di depanku. Rambut yang seakan-akan
menggambarkan birunya laut membuatnya terlihat sangat manis.
Kurenggangkan
otot-ototku yang terasa kaku lalu bangkit dari ranjang reyot ini. Ruangan yang
terbentuk dari tembok tua yang rasanya sebentar lagi akan rubuh. Atap kayu
reyot yang sudah mulai menimbulkan ‘kriet... kriet’ membuat sedikit was-was.
Lantai yang lagi-lagi juga terbuat dari kayu usang berdecit, tapi anehnya tidak
ada lubang sama sekali. Sebentar lagi ini penginapan ini akan hancur, itu yang
kupikirkan saat pertama kali masuk. Sebenarnya aku berpikir lebih baik menyewa
penginapan lain. Tapi mau bagaimana lagi, uang sangat terbatas. Bahkan tidak
ada jika saja Emilia tidak memberikannya, aku tidak memiliki sepeser pun.
Sudah
lama sejak aku- Natsuki Subaru. Dilempar ke dunia aneh ini, sendirian. Tidak
tahu dimana dan kemana arah hidupku. Namun beruntung aku bertemu dengan seorang
perempuan half-elf murah hati, walau jika pertama kalinya bertemu sifatnya akan
sangat dingin, Emilia. Dan yang bersamaku saat ini adalah seorang maid berambut
biru muda pendek, yang bekerja sebagai pelayan di kediaman Roswall. Namanya Rem.
“Hmh...
Selamat pagi, Rem”
“Selamat
pagi” Senyuman manis tersembul dari wajahnya. “Bagaimana? Apa tidurmu nyenyak?”
“Yah,
lumayan...”
Aku
membersihkan kotoran yang ada di mataku dan membuka mata lebar-lebar.
“Baiklah,
Subaru-kun. Apa yang akan kita lakukan hari ini?” Tanya Rem.
“Sebenarnya
aku ingin bernegosiasi dengan Krulcifer hari ini” Balasku yang masih setengah
mengantuk sembari mengucek mata.
“Begitu...”
“Terlebih
lagi, Rem...”
Kutatap
mata perempuan berambut biru itu lekat-lekat. Kurasa sekarang adalah waktu yang
tepat untuk mengatakannya. “Ada yang ingin kubicarakan denganmu”
Tampaknya
ia sedikit terkejut. Itu terlihat ketika Rem langsung memalingkan wajah dariku.
“Ap...
Apa itu?”
“Aku...”
Uh...
Setelah berpikir sejenak, mungkin lebih baik jangan tergesa-gesa. Masih ada
banyak waktu. Nanti saja setelah hal yang penting selesai terlebih dahulu.
“Tidak
jadi” Aku berdiri seraya berjalan mengambil jaket yang tergantung di gantungan
dekat pintu kamar.
“Eeh?”
“Nanti
saja, aku masih harus mempersiapkan diri untuk berbicara dengan Krulcifer”
“I...Iya...”
Kulirik
Rem yang mematung di tempat. Wajahnya memerah, sambil menunjukkan gerak-gerik
tanda malu. Ia menepuk-nepuk wajahnya seolah berkata dalam hati “Jangan terlalu
berharap”. Aku menghela menarik napas panjang.
“Baiklah!!”
Teriakku setelah beberapa saat mengumpulkan semangat. “Mari awali hari ini
dengan semangat muda!!”. “Victor-.”
Dug!
Tiba-tiba lantai kamar penginapan digedor sangat keras. Untung saja kayu ini
masih kuat jika kekuatan pukulannya hanya seperti itu. Tapi mau bagaimanapun, sebentar
lagi pasti akan rusak.
“Jangan
berisik! Ini masih pagi!”
Dalam
sekejap aku langsung terdiam seribu bahasa. Ap... Apa itu tadi?
“Subaru-kun,
ssh...” Ujar Rem menempelkan jari telunjuk di mulut, itu isyarat agar tidak
terlalu berisik.
“Aku
lupa kalau kita masih di penginapan”
Mendengar
perkataanku barusan, Rem tertawa kecil. Tanpa kusadari wajahku memerah ketika
melihat malaikat berwajah manis tepat di hadapanku.
“Cantiknya...”
Aku tidak sengaja mengatakannya.
“Hm?”
Tampaknya perempuan ini tidak mendengarnya.
“T...
Tidak apa-apa!”
Kemudian
ia mendekati wajahku. Ekspresi yang dipampangkannya saat ini seperti
bertanya-tanya dalam hatinya.
“Sekarang,
bagaimana jika membereskan semua ini dan segera berangkat ke kediaman
Krulcifer-sama?” Saran Rem menjauh dariku.
Untung
saja ia segera menjauh. Kalau tidak, mungkin tekanan darahku bisa naik.
“Baiklah!
Kerahkan seluruh semangat muda!”. “Vict-.”
Lagi-lagi
lantai yang kami pijak digedor, lebih keras dari yang tadi. Bisa-bisa runtuh
bangunan ini jika terus-terusan seperti itu.
“Sudah
kubilang, jangan berisik!!!”
Kami
berdua terdiam sambil gemetaran, lalu menatap satu sama lain dan tertawa.
Sinar
mentari terik sudah nampak tepat di arah barat laut. Hal ini menunjukkan jika
sekarang sudah sekitar pukul 10 pagi. Aku dan Rem sudah berjalan-jalan di
sekitar pasar kota sekitar 30 menit lamanya. Bangunan di sini nampak seperti
bangunan di jaman medieval dulu. Rata-rata terbuat dari batu bata dan tidak
dilapisi oleh semen, apalagi cat. Lapak para pedagang juga kebanyakan hanya
terbuat dari tongkat yang ditancapkan di tanah dan disusun menjadi persegi,
lalu ditutupi kain di atas sebagai atap. Sangat berbeda dengan Akihabara. Pasar
selalu ramai akan pengunjung dari berbagai penjuru dunia. Dan pastinya aku
adalah satu-satunya manusia paling normal disini, mungkin. Orang-orang yang
lewat di hadapanku sama sekali tidak dapat disebut sebagai ‘manusia’. Mulai
dari serigala bertubuh manusia yang dapat berbicara, kurcaci kecil di negeri
dongeng, bahkan ikan. Ya benar, ikan. Namun beberapa orang juga sama sepertiku.
Tapi tentu saja, ini tidak luput dari pencuri yang sepertinya menjadi ciri khas
jaman medieval dulu.
“Yo,
anak muda” Seseorang menyapa dari tempatnya berdagang.
Dia
adalah paman yang sering membantuku. Berpostur tubuh kekar, wajah garang dengan
luka besar. Terlihat dengan jelas otot-otot yang jika dibandingkan denganku,
perbedaannya akan sangat mencolok. Sifatnya bisa dibilang cukup baik jika
disejajarkan dengan orang yang mirip, walau kadang berubah-ubah. Mungkin sesuai
berapa pelanggan yang membeli apelnya.
“Selamat
pagi, paman” Jawabku. “Bagaimana penjualan hari ini?”
“Ahh,
tidak usah ditanya lagi” Paman terlihat sangat malas. Kurasa penjualan hari ini
kurang begitu memuaskan. “Sangat sepi, jarang ada yang ingin sekedar datang dan
membeli apel ini” Jelas paman sembari mengambil sebuah apel lalu melemparkannya
ke arahku. “Ngomong-ngomong, kemana tujuanmu pergi?”
“Kediaman
Krulcifer” Kutangkap apel tersebut dan langsung memakannya.
“Ooh,
jadi ingin bernegosiasi ya?”
“Eh?
Yah, kurang lebih seperti itu”
“Kalau
begitu, kudoakan agar kau sukses”
“Terima
kasih paman”. “Aku tidak punya banyak waktu lagi, jadi permisi”
“Baiklah,
jangan lupa bayar apel tadi”
“Baik-baik...”
Sifat
pedagang tampaknya memang tidak dapat dihilangkan. Kulambaikan tangan di udara
isyarat kata sampai jumpa lagi, sedangkan perempuan berambut biru yang berjalan
bersamaku menundukkan badan tanda hormat.
Tanpa
disadari, waktu berjalan sangat cepat. Tidak sampai 15 menit, sebuah kerajaan
megah sudah nampak di depan mata. Kastil- tidak, ini sama sekali tidak mirip
dengan kastil. Lebih tepatnya rumah konglomerat yang sejajar dengan kediaman
Roswall. Tapi mau bagaimanapun, ini tetaplah kerajaan. Luas tanah berbentuk
persegi panjang, bangunan yang ada di depanku saat ini membuatku terpaku.
Halaman luas yang hampir seluruhnya diisi oleh tanaman dan air mancur di tengahnya
terasa begitu mewah. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya
perlahan. Seluruh rencana sudah disusun dengan rapi. Dari pelajaran yang dahulu
menimpa, aku semakin mengerti mengenai pola pikir orang kerajaan. Jadi, ini
pasti berhasil. Kulirik Rem yang juga memampangkan wajah tegang. Ini demi
keselamatan orang banyak, terutama dirinya.
“Permisi”
Ucapku sopan seraya masuk ke kediaman Krulcifer.
Satu
langkah masuk. Kakiku sedikit bergetar ketika menginjakkan kaki di perbatasan
gerbang. Rasanya derajatku disini berubah menjadi sangat rendah seketika. Aura
tajam dari kedua prajurit yang tiba-tiba mendekatiku membuatku gerogi. Satu
orang berwajah datar tanpa ekspresi, sedangkan satunya lagi berwajah tenang
namun siaga. Keduanya memakai armor
kulit kerajaan lengkap bersama tombak di tangan.
“Selamat
datang” Kata penjaga berwajah tenang itu. Kelihatannya aku sudah salah sangka,
karena ternyata dia adalah orang baik. Itu terlihat dari senyuman yang tersebul
dari wajah tenangnya. Akan tetapi yang satu masih tetap tidak menunjukkan
ekspresi apapun. Daripada manusia, ini lebih mirip ke robot berjalan. Pandangan
lurus kedepan tanpa melirik ke arahku sedikitpun. Dinginnya. “Apakah anda yang
bernama Natsuki Subaru-dono?”
“Y...
Y... Ya, benar”
Kelihatannya
aku bisa tenang jika diantar olehnya. Ketika berpikir sedemikian, prajurit
tanpa ekspresi itu tiba-tiba melirik ke arahku. Tatapan tajamnya membuatku terkejut,
dan membuat bulu kuduk bergeridik seketika. Rem tampak biasa saja, seakan sudah
sering melihat yang seperti ini. Rem, asal kau tahu, tatapannya macam pembunuh
bayaran.
“Krulcifer-sama
sudah menunggu di dalam”. “Rekanku akan mengantarkan anda masuk”
“Re...
Rekan...”
Apa
yang dia maksud adalah orang yang disebelahnya itu? Saat bergumam, aku tak
sengaja melihat ada seseorang yang berjalan kemari. Langkah tegap dan tegas
menunjukkan wibawa tinggi dirinya.
“Selamat
datang di kediaman Krulcifer-sama. Saya akan mengantarkan anda masuk, Natsuki
Subaru-dono”
Syukurlah,
orang ini terlihat sangat baik.
“Baiklah”
Sekali lagi kuambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. “Ayo Rem”
Kataku menoleh pada Rem.
“Baik,
Subaru-kun”
Baiklah,
kedamaian sudah ada di depan mata!!
***
Seorang
penjaga mengantarkan kami masuk ke dalam. Rasa gugup tiba-tiba melanda setelah
berada di ambang pintu masuk ke dalam kerajaan. Pintu besar berwarna putih yang
menjadi warna dasar dalam pembuatan rumah megah seperti ini seakan menunjukkan
bahwa kaum bangsawan tidak sama dengan rakyat jelata. Tapi aku sudah biasa
melihat ini. Hampir sama dengan kediaman Roswall. Hanya saja ini lebih banyak
dekorasi dan juga lukisan yang hampir memenuhi tembok ruangan, mau itu di sisi
kiri maupun kanan. Aku dan Rem dipersilahkan masuk ke dalam sebuah ruangan. Tepat
pada saat mata memandang ruangan tersebut, suasana langsung berubah. Ruangan bercorak
jaman purbakala dikarenakan pemilihan warna ruangan yang berwarna coklat serta berbagai
peralatan berburu seperti tombak dan panah terpajang di atas api unggun yang
menyala. Terlebih lagi, suhu. Entah kenapa disini terasa sedikit lebih dingin
dari lorong tadi. Padahal sudah ada api unggun yang menyala, tapi itu tidak
banyak berpengaruh.
“Silakan
tunggu di sini selagi saya memberitahukan kedatangan anda” Aku mengangguk,
kemudian penjaga itu pergi meninggalkan kami berdua.
“Subaru-kun”
Bisikan kecil Rem yang hampir tidak terdengar membuatku sedikit terkejut.
“Hm?”
“Apa
Subaru-kun baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat”
Kurasa
perempuan berambut biru muda tersebut khawatir terhadapku. Aku tidak sadar jika
wajahku terlihat pucat. Apakah ini karena tubuh yang terasa tegang?
“Aku
tak apa, tidak usah khawatir” Aku mencoba tersenyum walaupun dengan sedikit
keterpaksaan.
Jangan
khawatir padaku, Rem. Karena sebentar lagi, pertumpahan darah akan terjadi.
“Benarkah?”
“Serahkan
semuanya padaku, dan percayalah”
Kata-kata
itu terlontar dari mulutku seolah-olah semuanya akan berhasil dengan sangat
mudah. Tapi pastinya, halangan pasti takkan seperti itu.
Pintu
ruangan terbuka sedikit demi sedikit. Setelah itu tampak seseorang berwajah
tegas masuk ke dalam. Baju, topi dan sarung tangan yang dikenakan seperti
menggambarkan seseorang yang tegas dan bijaksana. Mata kuning kehijauan menatap
tajam lurus kedepan. Langkah tegak nan anggun membuat siapapun yang bertemu
akan bertekuk lutut padanya. Itulah dia, sang putri kerajaan, Krulcifer. Dan
tentunya tidak sendiri, seseorang mirip dengan manusia kucing mengikuti di
belakangnya. Pakaian prajurit khusus mengingatkanku pada seseorang. Yah, itu
tidak perlu dibahas lagi. Seorang pemuda berambut biru- Cih, itu membuatku muak.
Walaupun tampak seperti gadis kucing, namun pada kenyataannya ia adalah seorang
laki-laki, Felix. Jujur saja, awal bertemu aku sempat tertipu dengan
penampilannya itu.
“Yo,
Krulcifer-san. Lama tak bersua” Kataku dengan akrabnya, padahal sebenarnya
tidak terlalu.
Putri
kerajaan itu duduk lalu menatap tajam ke arahku. Sikap awasnya terhadap apapun
memang sudah nampak dari luar, bahkan walau hanya sekilas saja.
“Apakah
itu cara bicaramu di kerajaan Roswaall?”
“Maaf
saja, tapi aku tidak biasa memakai bahasa formal”
“Baiklah,
itu tidak terlalu penting” Pintu dibuka oleh seorang pelayan yang membawakan
teh hangat dan menaruhnya diatas meja, memberi hormat kemudian pergi dari
ruangan. “Jadi, apa maksudmu datang kesini? Jangan membuang-buang waktuku,
langsung saja ke inti masalah”
Ucapan
Krulcifer-san dingin sekali. Apakah ini untuk menjaga wibawanya itu?
“Baiklah...”
Aku mengambil napas panjang-panjang. “Ini tentang pau-.”
Deg!
Perasaan aneh memasuki tubuhku. Apa ini...? Tubuh tidak dapat kugerakkan.
Mataku terbelalak, entah kenapa rasanya pikiranku menjadi batu. Tidak dapat
bergerak... Sialan.
“Subaru-kun?
Kau tak apa?”
Mendengar
suara Rem, Itu artinya aku masih sadar bukan? Dan juga pandanganku sekarang ini
tertuju pada putri kerajaan yang terlihat tenang-tenang saja, seakan tidak ada
yang terjadi. Wajahnya tetap datar, tidak sedih, tidak senang, bahkan secuil
senyuman pun tidak. Sedangkan Felix, reaksinya sama dengan Rem. Dan jujur, itu
membuatku risih.
“Natsuki
Subaru, kalau kau tidak segera bicara, kita sudahi pembicaraan ini”
Sial!
Bagaimana caranya berbicara kalau tubuh membeku seperti ini? Disaat seperti
itu, betapa terkejutnya aku ketika merasa sebuah tangan berkuku tajam mendekati
jantungku. Lagi-lagi ini? Namun kali ini sungguh berbeda, karena secara medadak
tangan itu menghujamkan kuku tajamnya. Mulut mengeluarkan darah segar seketika,
tubuh tersungkur di tanah, merasakan sakit yang sangat luar biasa. Telingaku
juga tidak berfungsi dengan baik. Suara-suara yang tadinya kudengar sekarang menjadi
samar-samar. Ruangan ini sekarang menjadi banjir darah. Kulihat Rem dan Felix
berada di depanku. Air mata kelihatannya mengalir dari wajah perempuan berambut
biru tersebut. Ia mengangkat tanganku dan menaruhnya di pipi. Bercak darah
telapak tangan membentuk di pipi Rem. Pandanganku sekarang benar-benar kabur.
Apakah sekarang ini sedang musim berkabut...? Atau bagaimana? Aku sudah tidak
dapat melihat wajah Rem. Hanya kegelapan yang ada didepan saat ini. Secara
mendadak sekarang berganti dengan wanita berambut panjang, wajahnya tidak
terlihat karena terutup oleh rambut panjang. Namun aku dapat menebak jika ia
sedang tersenyum sinis ke arahku. Sebelum kembali pingsan, tidak sengaja
terlihat jari tangan berkuku panjang, bersama suatu cairan kental yang menetes
kebawah. Perempuan itu menjilat kuku miliknya, dan disaat itu juga sekali lagi pandanganku
menjadi hitam.
Rasanya
seperti kembali ke masa lalu, gambar dari berbagai tempat yang pernah
kukunjungi terpampang dnegan jelas seperti slide
show. Tubuhku serasa melayang di angkasa lepas. Seberkas cahaya menyilaukan
masuk ke mata, membuat mataku terbuka secara perlahan. Atap putih...? Apa ini?
Di mana ini? Oh ya! Bukankah jantungku-. Mataku terbelalak sesaat seraya memeriksa
bagian dada, Tidak, aku tidak apa-apa. Mimpi kah...?
“Ooh,
sudah bangun ternyata”
Suara
ini tidak asing bagiku. Suara lemah lembut, seperti anak perempuan berumur 15
tahun. Aku menoleh ke sumber suara itu.
“Akira-neechan?”
Aku menatap perempuan tersebut dan ia tersenyum padaku.
Wanita
berumur 23 tahun, berambut hitam panjang, berbaju dokter, serta memiliki tanda
pengenal bernama ‘Natsuki Akira’ berada di sebelahku saat ini. Bola matanya
yang sama dengan milikku, berwarna hijau terang bersama pupil hitam di tengah.
“Dasar,
kau memang selalu membuatku khawatir” Ucap Akira-neechan menggeleng-gelengkan
kepala.
“Bagaimana
caranya aku bisa di sini?”
“Tidak
ingat?”. “Hari ini keluar dari rumah dan tidak kembali lagi. Ditemukan
tergeletak di jalan dan pada akhirnya seseorang membawamu kemari” Wajahku tampak
seperti orang ling-lung. Itu membuat Akira-neechan menghela napas panjang.
“Masih tidak ingat?”
“...”
Ingatanku
masih samar-samar. Kalau tidak salah, aku berbincang dengan Krulcifer-san
dan... Aku mati. Raut wajahku seketika menegang tanpa sebab. Tunggu dulu! Itu
berarti...
“Ada
apa?” Tanya satu-satunya kakak perempuanku itu. “Tenang saja, tidak akan ada
yang berbuat macam-macam padamu, aku yakin itu”
“Rem!
Mana Rem?!”
“Rem
siapa dia?”
Aku
terdiam sejenak. Oh ya, aku bersama Akira-neechan di sini. Itu artinya, aku ada
di Jepang saat ini. Jadi, Rem tidak bersamaku...
“Sebenarnya
apa yang terjadi?”
“Tidak,
tak apa” Kualihkan pandanganku darinya.
“Yah,
senang kau sudah bangun. Tapi pekerjaan masih menunggu, aku harus pergi” Ucap
Akira-neechan tiba-tiba. “Apakah baik-baik saja jika kutinggal sendirian?”
“Jangan
memperlakukanku seperti anak kecil” Balasku ketus.
“Ya,
ya, pria dewasa...”
Akira-neechan
meninggalkanku sendiri di bilik rumah sakit. Kuamati seluruh ruangan secara
seksama sebelum akhirnya kembali berbaring. Ini benar rumah sakit, aku dapat
memastikannya. Ruangan yang kutempati dominan cat berwarna putih. Tampak kotak
bertuliskan ‘Medicine’ dalam tulisan kanji tergantung di tempat Akira-neechan
berdiri. Lemari besar juga berada di sebelah kanan ranjang. Sudah bisa
dipastikan ini rumah sakit. Aku... Akhirnya dapat kembali lagi ke duniaku. Sangat
senang karena dapat menghirup kembali udara segar yang sebenarnya. Tapi di saat
yang sama, aku juga merasa kecewa. Seharusnya Rem ada di sisiku saat ini.
Senyumnya, tawanya, kepolosannya. Sial, kenapa aku malah memikirkannya?
Seharusnya Emilia lah yang membuatku khawatir, tapi... Haha, takdir memang
tidak bisa berubah. Mau bagaimana lagi? Tanpa sengaja aku tertawa kecil. Eh?
Tunggu dulu. Akira-neechan berkata bahwa aku ditemukan terkapar di tanah, dan
mengatakannya dengan nada sanati. Padahal aku sudah hilang berhari-hari, bahkan
berbulan-bulan lamanya.
“Hah,
terserahlah. Memang seberapa penting hal semacam itu”
***
Hari
silih berganti, bunga sakura mulai berguguran. Ini berarti tanda musim gugur
akan segera dimulai. Aku sudah keluar dari rumah sakit setelah sekitar satu
minggu harus rawat inap. Sangat membosankan, sangat, sangat, membosankan.
Kuharap aku tidak lagi masuk ke sana lagi seumur hidup. Seperti biasa,
pekerjaanku adalah menatap layar komputer dari pagi hingga siang, tentunya di
kamarku sendiri. Hari ini aku membolos sekolah, karena rasa aneh masih
menyelimuti. Yah, mungkin kalian dapat mengatakan bahwa itu hanyalah akal-akalanku
saja, tapi aku sama sekali tidak peduli. Tiba-tiba pintu kamarku menggeser
membuka perlahan, kemudian muncul Akira-neechan yang barusaja selesai mandi.
“Hari
ini kau tak bersekolah?” Tanyanya mengintip dari balik pintu yang terbuat dari kayu
itu.
“Tidak”
Balasku singkat tanpa menoleh. “Tubuhku masih belum pulih seutuhnya”
“Begitu...”.
“Jangan paksakkan dirimu”
Aku
tidak menggubrisnya. Akira-neechan pergi meninggalkanku sendirian di kamar. Aku
menghentikan pekerjaanku lalu bersandar di kursi, menatap langit-langit kamar
berbentuk persegi. Entah kenapa, dunia aneh itu tidak dapat lepas dari
pikiranku. Rem, Ram, Emilia, Roswaall, Betty, Puck, dan seluruh warga desa
seakan menjadi momok yang menghantui pikiranku. Padahal sudah kembali ke sini,
tapi kenapa aku malah bersedih? Sialan, aku sangat ingin kembali ke sana.
Bercanda tawa dengan anak-anak di sana. Melihat senyuman Rem yang selalu
menyemangatiku di saat sedih. Apakah... Tidak ada cara kembali ke sana? Awalnya
kukira itu hanyalah mimpi belaka, tapi kenyataannya tidak. Kalau begitu,
seharusnya jika tidur sekarang ini, aku dapat kembali lagi ke sana. Tapi,
kelihatannya itu tidak mungkin.
“Aah!!
Bagaimana ini!!” Aku tak sengaja berteriak kencang.
“Subaru,
ada apa?”
Ah,
aku berteriak. Teriakanku memang cukup keras, tapi bagaimana bisa terdengar
dari bawah, sedangkan aku ada di lantai dua?
“Ti...
Tidak ada!!”
Setelah
menjawab terbata, aku kembali bersender dan menatap kembali langit-langit
sambil memasang wajah kecewa. Padahal aku sudah kembali, tapi kenapa rasanya
sesakit ini...?
Deg!
Jantungku mendadak terpacu. Aliran darah memompa cepat. Berkumpul di satu
titik, membuat otakku serasa ingin meledak. Apa ini? Rasanya ada yang sedang
bermain dengan jantungku. Sembari masih menahan sakit di kepala dan dada, aku
mencoba bangkit. Namun, seketika tubuhku terhempas kembali ke tanah. Darah
kental keluar dari mulut membuat bercak darah merah. Lantai kayu yang tadinya
berwarna kekuningan, kini berubah menjadi lautan darah. Baru kusadari yang
kumuntahkan bukan darah biasa. Bercak darah itu tiba-tiba bergerak dengan
sendirinya. Membentuk tulisan kanji yang berarti ‘Enyah dari kehidupan asli,
kembalilah kemari. Seseorang akan mengantarkanmu’. Setelah membacanya,
sekelebat bayangan muncul di depanku yang sedang terkapar ini, entah darimana
asalnya. Semuanya berubah menjadi gelap gulita. Tidak ada setitik cahaya pun
sejauh mata memandang.
***
Kepalaku
terasa berat. Tubuh masih terbujur kaku di tanah. Pengelihatan yang awalnya
hanya hitam, kini mulai tampak. Eh? Apa ini awan? Luar ruangan? Seberkas cahaya
menyilaukan menusuk mata. Yang ada di depan saat ini ialah warna biru bercampur
putih kapas. Pendengaranku lama-kelamaan juga semakin jelas lagi. Kelihatannya
ini kawasan padat, penuh keramaian. Bersama dengan suara kendaraan yang
memekakan yang memekakan telinga. Di mana aku sekarang? Haha, mungkin sekarang
ini aku sedang berada di atap gedung daerah Akibahara. Walaupun masih setengah
sadar, aku dapat merasakan angin sepoi-sepoi berhembus lembut menerpa. Perasaan
nyaman apa ini? Kurasa kepalaku sedang berada di sebuah banta-. Tidak, ini
bukanlah bantal. Rasa empuk dan nyaman ini... Paha seorang perempuan?
“Sudah
bangun?”
Mataku
terbelalak, bersamaan denganku yang langsung tersadar sepenuhnya setelah
mendengar suara yang tidak asing lagi di telinga.
“R...
Rem? Apa itu kau?” Tanyaku terbata-bata.
"Sudah
lupa dengan suaraku?” Aku belum berani untuk memalingkan wajah ke arahnya. Ucapannya
barusan terdengar seperti seseorang yang sedang senang sekaligus tertawa kecil.
“Yah, maklum saja. Subaru-kun sudah pergi dari sana selama dua bulan penuh”
Tubuhku
mematung terdiam selama beberapa saat. Aku menengok ke sumber suara tersebut.
Ternyata dugaanku memang benar. Seorang perempuan manis berambut biru terang
tersenyum ketika aku menoleh ke arahnya. Tanpa kusadari, air mata turun
perlahan, tidak percaya apa yang ada di depan mataku saat ini.
“Rem!!”
Pergerakan
cepat datang dariku, aku memelum Rem erat-erat. Kelihatannya ia sedikit
terkejut karena aku mendadak memeluknya. Tapi... Aku tidak peduli. Akhirnya
dapat bertemu kembali dengannya, perempuan yang selalu menemaniku dimanapun dan
kapanpun.
“Uuh...
Uh... Aku tidak bisa...”
“Tidak
bisa?”
“Baru
kusadari kalau aku tidak dapat meninggalkanmu”
“Subaru-kun...”
Lagi-lagi senyuman manis tersembul dari wajahnya. “Aku juga, tidak bisa
meninggalkanmu” Ucapannya barusan hampir tidak dapat terdengar olehku.
“Yang
lebih penting” Kulepaskan pelukanku. “Bagaimana caranya kau bisa datang ke
sini?”
Apakah
cara yang terngiang-ngiang di kepalaku tadi itu benar-benar bekerja? Atau ia ke
sini dengan cara yang lain?
“Ah,
apa harus mulai dari situ?” Perempuan berambut biru itu mengatupkan mata,
seakan mempersiapkan diri untuk bercerita, kemudian membukanya kembali. “Sang Penyihir
menolongku”
“Sang
Penyihir” Sekilas terlintas di kepalaku tentang ‘Sang Penyihir’. Aku dibuat
kaget olehnya. “Maksudmu-!"
“Benar”.
“Tidak usah khawatir, karena Sang Penyihir ternyata tidak seburuk yang kita
kira”
Ekspresi
wajah menunjukkan bahwa aku sedikit tidak mengerti. Walau tidak seburuk yang
kita kira, Sang Penyihir tetaplah Sang Penyihir. Seseorang yang ditakuti oleh
seluruh masyarakat di dunia yang konon katanya, jika ia bangkit kembali, dunia
akan kiamat. Apakah itu bisa disebut dengan ‘Tidak seburuk yang kita kira’?
“Jadi...
Sang penyihir telah bangkit...”
Medengar
perkataanku, Rem tertawa kecil. Aku mengerutkan dahi karenanya. Kenapa dia? Apa
ada yang salah dengan ucapanku barusan?
“Sudah
kuduga Subaru-kun pasti tidak mengerti apa yang kuucapkan”
“Eeh?”
“Subaru-kun
barusan berkata kalau Sang Penyihir bangkit lagi bukan?” Kuanggukan kepalaku
setelah beberapa detik. “Sebenarnya, Sang Penyihir tidak disegel, apalagi mati.
Dia masih ada di dunia, lebih tepatnya diantara kita”
“Kita?”
“Aku,
Subaru-kun, Emilia-sama, Onee-san (Kakak perempuan), warga desa, dan lain
sebagainya. Sudah dilindungi oleh sang penyihir sejak dulu”
“Lalu,
siapa Sang Penyihir itu sebenarnya?”
“Puck”
Jawaban
singkat Rem membuat mataku terbelalak. Tidak, ini tidak mungkin. Puck binatang
kecil seperti itu adalah Sang Penyihir? Pertemuan dengan Sang Penyihir akan
terus terkenang, takkan pernah hilang sampai kapanpun. Dan kata-kata yang
kudengar darinya adalah “Telah membunuh anakku”. Yang dimaksud adalah Emilia.
Jadi intinya, Puck adalah ibu Emilia? Pikiranku bercampur aduk mencoba memahami
kejadian yang telah dialami olehku. Semua dikumpulkan menjadi satu dan mulai
menyusunnya. Uh, tidak bisa. Otakku tidak terlatih untuk itu. Di sekolah saja,
pelajaran yang menggunakan logika kebanyakan tidak dapat kujawab. Tiba-tiba
saja kepalaku terasa sakit. Darah kembali terpompa, adrenalinku terpacu. Sebuah
perasaan aneh lagi-lagi merasuki tubuhku. Sial! Jantungku! Jangan-jangan! Aku
meraba-raba bagian dada. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh, jantungku serasa
dipermainkan. Seperti ribuan jarum menusuk-nusuk tanpa henti. Sakit...
Tubuhku... Uh, kelihatannya aku akan pingsan lagi, atau mati. Sekarang aku tak
lagi berada di dunia Rem, jadi kekuatanku sebelumnya tidak dapat dipakai lagi.
Sialan, apa maumu sekarang, hei Penyihir?
“Subaru-kun?”
Suara Rem bersamaan dengan tepukan di punggung membuatku langsung tersadar.
Wajahku memucat macam mayat hidup. Badanku gemetar, keringat dingin membasahi
baju yang kukenakan. “Ada apa? Apa kau sakit? Kau terlihat sangat pucat”
Aku
tidak langsung merespon ucapan Rem. Namun malah terpaku dalam pikiran yang
sedang kacau. Kukira tadi itu adalah akhir hayatku.
“Aku...
Tidak apa-apa...” Balasku menatap telapak tanganku sebentar lalu segera bangkit
berdiri. “Oh ya, ngomong-ngomong Rem, bagaimana jika kau berkunjung ke
rumahku?”
Kali
ini wajah terkejutnya sangat terlihat, dan seketika berubah menjadi merah
seperti apel yang diberi oleh paman tadi. Dengan gugup, Rem menjawab.
“Pe...
Pergi ke rumah Su... Subaru-kun?”
Senang
bercampur malu, menciptakan perasaan aneh dalam dirinya. Kemudian ia mengangguk
pelan sembari mengetuk-ngetukkan kedua jari telunjuknya dengan kepala yang
mengadah ke bawah, tidak menatapku.
“Ayo”
Aku
menarik tangan Rem agar ikut bersama ke rumahku. Ah! Sebenarnya reaksiku sama
sepertinya! Tapi lebih baik kutahan agar ia tidak merasa aneh denganku!
Perempuan yang kugandeng tersebut tersenyum senang dan mengikutiku.
Tidak
terasa, wakut sudah semakin senja. Orang-orang di sekitar rumah sudah masuk ke
rumah masing-masing. Langit berwarna oranye bercampur matahari sangat
memanjakan mata. Saat ini, kurasa aku berada di situasi yang dapat membuat
jantung lepas seketika, begitu juga dengan Rem. Aku yakin itu. Akira-neechan,
aku, serta Rem duduk di ruang keluarga sambil bercakap-cakap untuk menghabiskan
waktu.
“Wah,
wah, ternyata adikku ini memiliki kenalan yang sangat cantik. Kukira mustahil
jika Subaru memiliki teman perempuan, apalagi kekasih” Katanya sambil merangkul
pundakku.
“Lepaskan
aku!” Tidak usah berkata seperti itu juga bisa bukan? Aku tahu jika itu adalah
kenyataan, tapi... Ah sudahlah.
Melihat
kedekatanku dengan Akira-neechan, senyum manis tersembul dari wajah Rem.
“Oh
ya, Rem-chan...”. “Di mana tempat tinggalmu? Aku ingin mengunjunginya jika
sempat”
“Eh?
Oh?” Rem kelihatannya bingung untuk menjawabnya. Maklum saja bukan, karena
tempat asalnya bukan dari sini.
Kurasa
aku harus mengalihkan pembicaraan ini. “Akira-neechan, jangan menanyakan
privasi orang yang barusaja kenal!”
“Hee?
Apa tidak boleh?” Raut wajah Akira-neechan menjadi seperti penggoda. Yah,
maklum saja, karena kelakuannya memang seperti itu sejak dulu. “Apa mungkin,
kau menyembunyikan sesuatu dariku, Subaru?”
“Ap...
Apa maksudmu!”
Kali
ini aku benar-benar salah tingkah. Kelihatannya wajahku juga memerah. Rem yang
menlihatku seperti itu menunjukkan senyumnya, tapi ini tidak seperti biasanya,
ini termanisnya yang pernah kulihat. Zap! Cahaya kamera tiba-tiba muncul dari
depan dan menyebabkan dirinya sedikit terkejut.
“Akira-neechan!”
“Lihat
ini, Subaru” Kakakku satu-satunya itu menunjukkan foto Rem tersenyum yang
diambilnya barusan. “Bagaimana menurutmu?”
“Cantiknya...”
Aku tak sengaja mengatakannya.
“Su...
Su... Subaru-kun...?” Kupalingkan wajahku ke perempuan berambut biru pendek
yang tersipu malu.
“A...
Ah!! Ta... Tadi itu-!”
“Aku
sudah mengirimnya ke ponsselmu”
Akira-neechan!
Bacalah waktu ketika ingin menyela pembicaraan!
“Hei!
Jangan asal membuka ponsel orang lain!”
“Aku
harus pergi, sampai jumpa”
“Akira-neechan!”
Ia
pergi begitu saja tanpa berkata sepatah katapun.
Sekarang
hanya ada dua orang di ruangan, aku dan Rem. Kami tidak mengutarakan sepatah
katapun. Wajah Rem memerah sambil menunduk ke bawah. Dasar Akira-neechan, kapan
sikapnya berubah? Aku tidak berani menatapnya. Ak... Aku punya fotonya di dalam
ponselku sekarang... Uh, apakah harus menghapusnya? Tapi sangat disayangkan, tadi
itu adalah momen terbaiknya. Aku harus memulai pembicaraan.
“Anu,
Rem:
Panggilan
dariku membuat Rem bergejolak sekilas.
“A...
Ada apa?” Jawabnya masih menundukkan kepala.
“Sebenarnya
ada yang ingin kutanyakan padamu” Aku menarik napas panjang. Kupikir setelah
mengatakan itu, Rem akan menatapku. Tapi nyatanya ia masih menunduk. “Kenapa
kau repot-repot datang kemari menemuiku? Padahal jika aku tidak ada, dunia sana
juga takkan berubah”
Perempuan
di depanku saat ini tidak langsung menjawab pertanyaanku. Kurasa ia sedang
menghela napas untuk menenangkan perasaannya.
“Itu...”
Sedikit
demi sedikit mengangkat kepalanya. Memberanikan diri untuk menatapku.
Ia
langsung menatap lekat-lekat wajahku. “Karena aku mencintaimu”
Sedikit
terkejut mendengar pernyataan langsung dari Rem. Aku memampangkan wajah
terkejut sekaligus sedikit malu. Kali ini yang mengalihkan pandangan adalah
aku. Tawa kecil keluar dari mulutku, membuat Rem terlihat seperti orang linglung
yang kehilangan arah tujuan.
“Dasar...”
Kuelus lembut kepala Rem. Bisa-bisanya berterus terang di saat seperti ini
“A...
Apa itu aneh? Pada saat perempuan menyatakan merasaannya pada seorang lelaki?”
Aku
menggeleng lalu tersenyum. “Kalau begitu, mungkin sekarang adalah saat yang
tepat”
Kemudian
kugenggam kedua tangannya lembut. Aku tak ingin kehilangan dirinya, lagi.
Sekarang malah perasaanku yang tak karuan.
“Aku
juga memiliki perasaan yang sama denganmu” Ucapku.
Mata
Rem terbelalak. Setelah berkata sedemikian, aku mendekatkan kepalaku.
“De...
Dekat sekali...” Kubuat Rem tak berkutik dari tempatnya.
Aura
di ruangan ini langsung berubah menjadi romantis. Ciuman mesraku dengan Rem
menyebabkan itu. Seolah sedang ada lagu Perancis yang didengungkan disini.
Walau perasaan malu masih menyelimuti, aku tetap menahannya, kemudian
melepaskan ciuman tersebut.
“Tapi,
kelihatannya Subaru-kun mencintai Emilia-sama...” Rem kembali mengalihkan
pandangannya dariku. Ekspresi sedih terpampang di wajahnya, bercampur rambut
biru laut membuat orang yang melihatnya menjadi tersentuh.
Aku
mengendus pelan seraya menutup mata, kemudian membukanya kembali. “Jangan
bodoh, aku sama sekali tidak mencintainya”
“Eh?”.
“Ta... Tapi, semua yang kau lakukan untuk Emilia-sama-!”
“Dekat
bukan berarti mencintai” Kupejamkan kembali mataku, seakan meminta kekuatan
dari sang penyihir. Lalu membukanya kembali. “Aku mencintaimu, benar-benar
mencintaimu”. “Kau sudah bersamaku selama ini. Selalu menemaniku dimanapun dan
kapanpun itu. Memberikan semangat disaat sedih, sekarang aku baru menyadarinya
kalau kau memang selalu ada untukku”
“Subaru-kun...”
Air mata tanda bahagia mengalir perlahan di pipinya, kemudian aku mengusapnya
dam mengelus kepalanya pelan.
“Mulai
sekarang, mohon bantuannya”
“Ya”
Kami
berdua saling bertatap muka. Akhirnya aku dapat mengungkapkannya. Pikiran dan
hatiku kali ini sangat lega seakan-akan diriku adalah pemenang piala oscar
karena sudah mendapat jawaban yang pasti.
“Oh
ya, ngomong-ngomong, Rem...”
“Ada
apa, Subaru-kun?”
“Anu,
bagaimana cara menjelaskannya...”
Rem
memiringkan kepala dengan senyuman menghiasi wajah. “Kenapa? Katakan saja”
“Ah
tidak, tidak ada apa-apa” Aku tersenyum bodoh. Sempat terlintas di pikiranku,
lebih baik kita tetap tinggal di sini”
Mendengar
itu, Rem tampak terkejut sekaligus bingung. Lalu mengerutkan dahi tanda tak
mengerti.
“Anu,
yah... Itu, kau tahu. Dirimu dan aku tinggal di dunia ini, kota ini, rumah ini”
“Eeh?!
Su... Subaru-kun! Ma... Mana mungkin aku melakukannya!”
“Rem,
dengarkan aku” Tatapan tajamku menuju ke arah Rem dan membuatnya terdiam. Ia
kemudian menundukkan kepalanya. “Duniamu, kota itu, dipenuhi dengan hal-hal
supranatural yang dapat membahayakan nyawa”. “Itulah kenapa, aku mengajakmu
untuk tetap tinggal di sini. Bersamaku, bersama Akira-neechan”
“Tapi
Subaru-kun, kurasa itu bukanlah ide yang bagus”
Ekspresi
di wajahku menunjukkan bahwa diriku kurang puas dengan jawabannya barusan. “Apa
alasanmu mengatakan hal itu?”
“Sebelumnya
seperti yang Subaru-kun tahu, aku ke sini karena diperintahkan oleh Sang
Penyihir untuk menjemput Subaru-kun. Dan karena itu aku tidak bisa melanggar,
apapun alasannya”
Walaupun
berkata begitu, Rem... Aku sedikit kecewa ketika kau mengatakan itu. Harapanku
adalah tinggal bersamamu, membangun keluarga, kemudian hidup bersama hingga
ajal menjemput. Tapi mau bagaimana lagi bukan? Mungkin kita memang ditakdirkan
di sana.
Dari
suara hela napasku, Rem pasti sudah tahu kalau aku sangat kecewa. “Benar juga,
kita harus kembali ke sana”. “Tapi maukah kau tinggal disini untuk satu minggu
kedepan? Lalu kembali bersama ke sana”. “Sekilas aku juga teringat, ada suatu
hal penting yang harus kusampaikan pada Krulcifer-san” Aku tersenyum. Dan
pastinya bukan senyuman bahagia, tapi senyuman penuh keterpaksaan dan
kekecewaan.
“Tidak
apa Subaru-kun!” Perempuan yang ada di depanku mencoba memberikan semangat. “Setelah
kembali, kita akan menyewa sebuah rumah kecil di kota dan tinggal di sana
sebelum kembali ke kediaman Roswall-sama”
“Rem...”
Senyuman
manis lagi-lagi tersembul dari bibir mungilnya itu. Mendadak angin berhembus
dari jendela yang terbuka. Angin malam menerpa rambut biru miliknya, bersama
sinar rembulan menyinari dari belakang. Seperti malaikat yang turun dari surga,
aku tidak melepaskan pandangan sedetikpun dari Rem.
“Barusaja
aku melihat malaikan berambut biru di depanku...” Ucapku pelan tak sengaja.
“Subaru-kun?”
“O...
Oh! Ti... Tidak ada!!” Omongan Rem segera membuatku tersadar.
Untung
saja ia tidak mendengar apa yang barusan kuucapkan. Lain kali, kurasa aku harus
berlatih untuk tidak terkesima dengan sesuatu.
Pukul
03.00 pagi. Udara dingin menusuk hingga ke tulang sangat terasa. Apalagi
sekarang berada di atap rumah. Rem dan aku sedang berada di sana. Ia tetap
bersikap tenang sambil menyenderkan kepala ke bahuku, menunggu datangnya
mentari pagi. Pemandangan prefektur disertai gunung berdiri megah sejauh mata
memandang memang sangat cocok jika dilihat dengan mata telanjang. Ini adalah
hari kedua Rem ada di rumahku. Dan ketika matahari terbit, hari kedua berganti
menjadi hari ketiga. Masih ada sisa waktu sekitar empat hari lagi. Perempuan
yang menyeder padaku sudah mengerjakan berbagai macam tugas rumah tangga.
Seperti menyapu, memasak, mencuci dan lain-lain. Jangan pernah menganggapnya
sebagai pembantu, atau terima saja akibatnya. Kami berdua melakukan banyak hal
yang jika kusebutkan satu persatu, mungkin akan memenuhi satu kertas ukuran A4.
“Lihatlah,
matahari sebentar lagi akan terbit” Ucapku menunjuk menggunakan jari
telunjukku.
“Ya,
tinggal beberapa menit lagi...”
Kami
berdua saling menatap satu sama lain. Tapi... Beberapa hari lagi, kita akan
pergi- ya sudahlah, kenapa harus memikirkannya? Kita akan terus bersama sampai
kapanpun bukan, benar begitu, Rem? Aku tersenyum ke arah perempuan berambut
biru pendek tersebut. Ia pun juga membalas senyumanku. Sinar oranye kekuningan
mulai bersinar. Mentari tampak malu-malu keluar dari sarangnya. Jadi, genaplah
sudah 3 hari Rem berada di sini. Aku takkan menyia-nyiakan 4 hari selanjutnya.
“Lihat
itu, Subaru-kun”. “Indahnya...” Rem mengatakannya dengan nada takjub.
“Benar”.
“Kira-kira, apakah kita bisa melihatnya dari kerajaan Roswall?” Tanyaku
berseling sedikit candaan kecil.
“Hahaha,
kenapa Subaru-kun menanyakan hal itu? Tentunya bisa. Apalagi dengan tinggi
diatas ini”
Itu
artinya secara tak langsung kau mengatakan bahwa rumahku ini kecil Rem. Aku
menghela napas lalu tersenyum.
Deg!
A... Apa ini? Tidak dapat kugerakkan. Sekujur tubuhku tiba-tiba membeku tanpa
sebab. Lagi-lagi darah memompa dari jantung ke otak. Sakit yang luar biasa
terjadi dalam kepalaku. Ugh... Aku yakin ini pasti ulah Sang Penyihir brengsek
itu. Udara di atas sini tidak terlalu dingin, dan juga tidak terlalu hangat.
Jadi bisa dibilang masih standar, mustahil ada manusia tiba-tiba menjadi
bongkahan es dikarenakan udara seperti ini. Dengan susah payah, kulirik Rem
yang sendari tadi sama sekali tidak bergerak sejentikpun. Apakah ia juga
membeku, sama sepertiku? Tidak, ia pasti tidak membeku. Lalu kenapa malah diam
saja? Rem, apa kau tidak sadar jika aku membeku seperti ini? Beberapa detik
setelah berpikir demikian, pandanganku menjadi gelap gulita seketika. Kilatan
bayang kejadian-kejadian lampau berada di depanku lagi seperti slide show. Tapi sekarang ini, yang ada
di depan mataku adalah paman penjual apel bersama bayangan diriku. Apa ini?
Bayanganku? Ingatangku? Ia menawari sebuah apel, kulihat bayanganku itu
menerimanya. Namun tiba-tiba saja, paman tersebut mengeluarkan sebuah pisau
daging lalu menebaskannya ke kepala bayanganku. Sontak aku langsung menggigil
ketakutan. Seketika saja berubah dalam sekejap mata. Rem, Ram dan aku- maksudku
bayanganku memasak di dapur. Akan tetapi, tiba-tiba saja Rem berubah mejadi Rem
kedua, atau lebih tepatnya iblis dalam dirinya keluar. Ram bermaksud untuk
menolong, namun tindakannya bagai menegakkan benang basah. Ia malah ikut terkena
hempasan bola berduri Rem, dan tentu saja mendarat tepat di kepala. Lagi-lagi
berubah dalam sekejap mata sebelum aku dapat menyaksikan kepalaku dan Ram
hancur berkeping-keping. Kali ini Emilia dan bayanganku ada di sana. Aku ingat
betul situasi ini. Dimana ketika berada di kamar kerajaan Roswall, aku
bersender di paha Emilia-tan. Kupikir ini akan menjadi kisah tragis yang
terakhir, tapi tebakanku ternyata salah. Kini, aku berada di sebuah...
Bagaimana cara menjelaskannya? Ini lebih tepat jika disebut sebagai ruang hampa,
karena disekelilingku hanya hitam legam.
“Di
mana aku?” Tak sengaja kata-kata itu melontar dari mulutku.
“Di
dunia buatanku”
Sedikit
terkejut mendengarnya, aku segera mencari sumber suara tersebut. Tidak ada? Itu
suara seorang perempuan tua. Walau tidak terlalu, tapi perkiraan umurnya adalah
sekitar 43 tahun.
“Siapa
kau?”
Aku
mendengar suara langkah kaki terseret. Ini hanya tebakanku saja, tapi
sepertinya aku sedang berbicara dengan seseorang bukan manusia, tapi aku sama
sekali tidak peduli tentang itu. Setelah bicara dengannya, aku akan dikirim
kembali ke duniaku bukan?
“Kau
tahu, aku sudah lama mengamatimu...”
Berkata
demikian tanpa memperlihatkan wujudmu, apa-apaan kau ini? Dan juga mengamati?
Sebenarnya apa maunya dariku?
“Tunjukkanlah
dirimu, lalu silakan bercerita panjang lebar padaku”
“Kau
ini benar-benar lancang sekali”
Sebuah
bayangan hitam seketika muncul di depanku. Mula-mula berbentuk macam kumpalan
asap hitam, namun lama-kelamaan berkumpul menjadi satu dan membentuk tubuh
manusia utuh. Mulai dari tangan, kepala, kaki, badan, lengan dan leher. Aku
dapat melihat rambut panjangnya yang terurai ke bawah. Tinggi sekitar 166cm, tubuhnya
ideal untuk seorang wanita. Tapi memang apa untungnya bagiku? Aku masih tidak
dapat melihatnya karena sekujur tubuhnya seolah dilumuri dengan aspal panas,
hitam legam.
“Natsuki
Subaru, kau adalah seseorang yang telah lama kunanti”
Ia
mendekatiku. Sontak aku langsung mundur secara perlahan. Eh? Dinding? Tunggu,
di belakangku hanya ada kegelapan. Lalu apa ini? Sekarang tepat berada di depan
wajahku. Di saat itu juga, wajahnya mulai terlihat. Seorang wanita berparas
cantik, yah walau sudah sedikit tua. Rambut panjang berwarna abu-abu, hidung kecil
serta bibir tipis menghiasi wajahnya. Bola mata berwarna merah tidak dapat
dipertanyakan lagi keseramannya, menatap saja sudah membuat bulu kuduk berdiri.
Aku
menelan ludah sambil menahan gemetar badanku. “Si... Siapa kau sebenarnya?”
Tanyaku tergagap.
Perempuan
yang ada di depanku ini tersenyum, kemudian menjauhkan wajahnya dariku.
“Sudah
kuduga itu yang akan terlontar pertama kali ketika bertemu denganku”
Apa
maksudnya?
“Natsuki
Subaru, hikkikomori kelas atas yang bersekolah di SMA Higashizaka. Umur 16
tahun, tahun ini 17. Pemalas yang perkerjaannya hanya bermain game. Tinggal
bersama kakaknya yang bernama Natsuki Akira. Orangtuanya meninggal 4 tahun yang
lalu karena kecelakaan pesawat ketika akan berangkat ke Inggris”
Jujur
saja, aku sedikit terkejut mendengar ia tahu seluk beluk tentang diriku.
“Masih
perlu kulanjutkan?”
“Tidak...”
Aku menggelengkan kepala. Apa maksudnya ini? Bagaimana bisa ia mengetahuinya?
“Seharusnya
kau sudah tahu siapakah aku, dan apa maksud mendatangkanmu kemari”
Wanita
tua yang ada di depan membelakangiku.
“Tidak,
aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentangmu” Sebenarnya sedikit takut untuk menjawab
perkataannya barusan, tapi ini demi mengetahui siapa dia sebenarnya agar mengantar
kembali ke duniaku.
“Memang
sudah kuduga kau ini memang bodoh”
Tubuhku
bergejolak sesaat ketika ia mengatakan itu.
“Apa
katamu barusan?!”
“Jangan
pernah membentak pada perempuan...”
Pergerakan
cepat datang darinya. Tiba-tiba saja leherku tercekik oleh tangan wanita tua
tersebut yang entah bagaimana caranya bisa berbalik dengan cepat.
“Ug...
Gu... Ugh...” Ia kemudian melepaskan cengraman tangan di leherku, aku
terbatuk-batuk karenanya.
“Kelihatannya
Rem belum bercerita banyak...”
Mendengar
itu, aku langsung berdiri dan berkata,
“Rem?
Apa kau kenal dengannya?”
“Asal
kau tahu, aku yang menyuruhnya untuk datang menjemputmu. Kurasa ia sudah
mengatakannya”
Aku
mematung di tempat dengan mata terbelalak seraya mundur lagi beberapa langkah
hingga menyentuh dinding tak terlihat.
“Ja...
Jangan-jangan... Kau ini adalah...”
“Benar”.
“Akulah Sang Penyihir itu, Satella”
Sa...
Sa... Satella... Sang Penyihir...?
“Sa...
Satella?”
“Ingat
ini?” Katanya sambil menjentikkan jari telunjuk dan ibu jari.
Sebuah
hasil tangkapan foto yang sudah dicetak dilemparkan ke arahku. Dengan sigap
kutangkap barang lemparannya tersebut, kemudian melihatnya.
“Eh?
Bukankah ini Puck?”
Puck
adalah hewan peliharaan Emilia-tan. Ia selalu bersamanya dimanapun dan
kapanpun.
“Tepat
sekali”. “Kalau begitu, ini...”
Di
sekitar Satella tiba-tiba muncul kumpalan asap tebal berwarna hitam sangat
mirip dengan yang tadi. Lalu tak berselang lama, asap tersebut mulai hilang
secara perlahan.
Ini...
Ini... Aku tak percaya apa yang ada di depan mataku saat ini. Seekor kucing
berwarna putih keabu-abuan, anting tampak menggantung di salah satu telinganya.
Ukuran tubuhnya hanya sekitar 10cm. Apakah ini benar dirimu?
“Puck?”
“Ya,
ini aku Subaru”
“Bagimana
bisa...?”
Jadi
Sang Penyihir, Satella itu adalah Puck? Tidak, tunggu. Kenapa aku tidak
menyadarinya?
“Jadi...
Kau yang selama ini mempermainkan jantungku?”
“Ya”.
“Awalnya kukira kau akan cepat menyadarinya, tapi ternyata aku salah. Kau
adalah tipe lelaki kurang peka terhadap sesuatu di sekitarnya”
Dengan
sikapmu yang seperti itu, siapapun tidak tahu jika kau adalah Sang Penyihir.
“Jadi,
Rem tahu?”
Satella
menggeleng. “Tidak, ia tidak tahu apa-apa”
“Lalu,
bagaimana dengan Betty? Emilia? Roswall?”
“Biar
kuberitahu, hanya ada satu orang di kediaman Roswall yang mengetahui wujud
asliku yang sebenarnya”
“Siapa?”
“Anakku
sendiri” Segera ia kembali merubah wujudnya kembali seperti semula lalu
melanjutkan kata-katanya. “Emilia”
Aku
terkesiap, seakan ada sambaran petir dalam tubuhku. E... Emilia? Puck adalah
ibu dari Emilia?
“Tu...
Tunggu dulu, memang kalian sangat dekat. Tapi...”
“Tapi
apa?” Sang Penyihir kembali mendekatiku perlahan. Aku kembali menelan ludah.
“Sangat tidak peka, sampai-sampai kau tak menyadari warna rambutku”
Kuterdiam
melihatnya mendekatiku. Kenapa aku bisa lupa dengan warna rambut Emilia? Kurasa
bukan lupa, tapi aku malas berpikir.
“I...
Itu...”
Kali
ini lagi-lagi Satella berada di depanku, tepat di depan wajah. Mendekati
telingaku dan berbisik pelan.
“Sama
sekali tidak peka”
Tubuhku
bergetar ringan sambil membayangan hal-hal buruk yang akan menimpa dalam
keadaan seperti ini.
“Lebih
baik kita ganti pembicaraan” Katanya seraya menjauh dariku. “Tahu apa ini?”
Ia
menjentikkan jari, kemudian sebuah benda seketika berada di tangannya lalu
melemparnya ke arahku. Aku menangkap barang tersebut walau hampir saja terjatuh.
Bukankah ini-!
“Aku
ingat-!”
“Sudah
kuduga kau mengetahuinya”. “Seperti dugaanmu barusan, itu adalah tanduk”
Sama
seperti milik Rem... Bagaimana bisa ia memiliki benda seperti ini? Tanduk
keturunan iblis yang katanya sangat berbahaya, kalau tidak salah ada 2 orang
yang memilikinya, termasuk Rem. Hanya itu yang kuketahui.
“Milik
siapa ini?”
“Tebaklah
pertanyaanku, perempuan berambut merah pendek”
“Perempuan...
Berambut merah pendek?”
Kenapa
harus menebaknya, tidak bisakah langsung menjelaskannya secara rinci? Sepintas
dalam pikiranku, kurasa aku hanya mengenal salah satu perempuan berambut merah
pendek.
“Jangan-jangan,
ini milik Ram?”
“Tepat
sekali”
Jadi
tanduk ini milik kakak Rem, Ram. “Kalau tidak salah, tanduk ini dipotong oleh
seseorang dari warga di desa Rem dan Ram...”
“Ternyata
kau tahu banyak juga, ada harsrat yang muncul untuk meremehkanmu barusan”. “Benar,
tapi aku mengambil dan menyimpannya”
“Bagaimana
bisa?” Aku mengerutkan dahi.
“Hanya
tinggal menghilangkan keberadaan kemudian mengambilnya diam-diam, cukup mudah”
Cukup
mudah bagimu, terkecuali manusia biasa, Sang Penyihir. Kelihatannya nyaman jika
menjadi Sang Penyihir sepertinya. Pikiranku tidak jelas melantur kemana-mana.
“Apa
maksudmu mengeluarkan ini dan memberikannya kepadaku?”
Ia
tersenyum sinis sesaat kemudian berkata dengan nada sedikit lamban,
“Iblis
dalam diri Ram sudah tiada karena tanduk di kepalanya sudah lepas. Akan tetapi,
Rem masih memilikinya...”
“Lantas?”
“Kau
tahu apa yang akan terjadi jika tanduk itu tetap menempel?” Sempat aku berpikir
sejenak, namun pada akhirnya menggeleng juga. “Iblis dalam dirinya akan terus
memberontak, pada akhirnya akan menguasai tubuh, dan takkan ada yang bisa
menghentikannya. Dirinya sendiri maupun orang lain”
Ucapan
barusan membuat mulutku terbungkam. Rem yang ceria seperti itu... Pikiranku
jauh melayang kepada peremuan berambut biru tersebut, kekasihku sendiri.
“Kau
pasti bercanda bukan?” Senyuman penuh kesedihan dan keterpaksaan tersembul di
wajahku.
“Tidak,
aku sangat serius”
Aku
kembali terpatung dengan mata terbelalak lebar. Rem... Akan menjadi iblis...?
“Jadi
intinya, Rem akan berubah menjadi iblis, begitu?”
“Jika
segera bertindak, itu akan membatalkan perubahannya”
“Ber...
Bertindak?” Ekspresi wajah menunjukkan bahwa aku kurang mengerti apa yang
dikatakannya. “Apa maksudmu?
“Ada
beberapa syarat yang harus kau lakukan untuk menyembuhkan Rem” Perempuan
berambut panjang tersebut menjentikkan lagi jarinya.
“Syarat?”
“Kenal
siapa ini?”
Setelah
menjentikkan jari, dalam sekejap selembar kertas berisi gambar berada di
tangannya.
“Hmm...?”
Sepertinya
aku pernah melihatnya... Tapi dimana? Aku mencoba untuk mengingat-ngingat,
siapa yang ada di gambar tersebut. Laki-laki berambut hijau tua pendek... Mata
bulat sempurna dengan pupil kecil tertutup oleh rambut... Struktur wajahnya
sedikit berbeda dari manusia biasa. Dan pakaiannya? Tunggu, aku ingat. Aku
ingat tentang dirinya. Mantel itu... Ya, tidak salah lagi...
“Betelg...
Betelge... Gesu... Bukan. Betel... Betel...”. “Ah, sangat sulit untuk
menyebutkan namanya! Tapi aku mengenalnya! Biasanya dia mengatakan ‘Kau ini
memang pemalas’ dengan logat aneh!”
Sesudah
mengatakan hal tersebut, aku sama sekali tidak menyangka reaksi Satella. Sang
Penyihir bisa tertawa? Bukankah daritadi ia memasang wajah datar tak
berekspresi?
“Betelgeuse
Romanee Conti, itu maksudmu kan?”
“Benar!
Betelgeuse!”
Terlihat
Satella menghela napas sesaat.
“Tak
kusangka kau mengetahuinya, tapi bagaimana bisa?” Ia mengerutkan alis tipisnya
yang hampir tertutupi oleh poni panjang.
“Eh?
Ah. Anu, aku juga tidak tahu bagaimana bisa tahu. Tapi yang jelas, barusaja aku
mengalami dejavu”
Kalau
tidak salah, aku pernah dibunuh olehnya bukan? Ingatanku tentangnya tidak
terlalu jelas.
“Begitu...”
Diambilnya
lagi gambar yang kugenggam, lalu menjadi abu dalam sekejap mata. Entah kenapa,
berbicara dengannya ini membuat punggung terasa sedikit kaku. Aku kemudian
langsung merenggangkan otot-ototku. Nyaman sekali...
“Kalau
begitu, Satella-san, bagaimana jika kita kembali ke topik semula?”
“Baiklah”.
“Langsung saja, hanya ada satu syarat yang perlu kau lakukan agar Rem selamat
dari kutukan...”
“Katakan
saja, dan aku akan melakukan apapun untuk menyelamatkan Rem”
“Bunuh Demonic Satan”
Ketegangan
langsung melanda tubuhku. Gelombang frekuensi tinggi seolah menembus kulit hingga
ke otak. Bulu kudukku seketika berbaris rapih saking takutnya, bersamaan dengan
keringat dingin mengucur seperti air mancur. Apakah berlebihan? Sama sekali
tidak. Karena aku sudah mengalami banyak kejadian tidak masuk akal disini. Dan
jika Sang Penyihir berkata sedemikian rupa, itu artinya pasti akan terjadi.
“A...
Apa katamu...? Demonic... Satan...?”
Satella
menangguk dengan mata tertutup. Anggukannya barusan menambah ketakutanku. Demonic
Satan... Si pemimpin neraka? Aku harus membunuhnya? Yang benar saja... Manusia
lemah sepertiku... Sialan! Apakah tidak ada cara lain! Aku memalingkan wajah
penuh emosi dari Satella dengan tangan mengepal kuat.
“Tidak
usah takut, Subaru” Entah sejak kapan, Sang Penyihir merubah dirinya menjadi
seekor kucing kecil. Sekarang ia bukanlah Sang Penyihir, Satella. Melainkan
binatang peliharaan kesayangan Emilia-tan, Puck. Senyuman yang sudah lama tak
kulihat kini terpampang di depanku. “Aku akan bersamamu untuk melawannya”
“Benarkah!?”
Tak tahu harus bicara apa, yang jelas aku sangat senang. “Tapi, kenapa kau
ingin membantuku?”
“Seperti
yang kau tahu, Rem sudah lama tinggal di kediaman Roswall bukan? Bahkan itu ketika
Emilia masih berumur sekitar 14 tahun”
“Jadi
Rem di sana pada saat umur 15 tahun?”
“Begitulah”.
“Tapi Subaru, kita kesampingkan pertanyaanmu tadi” Satell- maksudku Puck.
Memejamkan mata selama beberapa saat sebelum membukanya kembali. “Ada beberapa
hal yang perlu kau ketahui tentang hal ini. Jadi janganlah terkejut”
“Baiklah”.
“Wah, aku terkejut!”
“Belum!
Dasar bodoh!” Puck menendangkan kakinya ke kepalaku. “Lagipula sudah kubilang
jangan terkejut!”
“Maaf,
maaf. Hanya bercanda”
Sebelum
melanjutkan ucapannya, Puck membuang muka dari Subaru.
“Setelah
keluar dari sini, kau akan menemukan Rem tergeletak di tanah. Tidak usah
khawatir karena ia hanya pingsan”
Dan
kau yang membuatnya pingsan, benar begitu Sang Penyihir? Kuanggukan kepalaku
tanda mengerti.
“Aku
paham”
“Kalau
begitu...”
Memutar
tangan membentuk lingkaran, Puck tampak seperti sedang merapalkan mantra.
Gerbang antar dimensi terbuka setelahnya. Aku mematung di tempat, terlihat
dengan sangat jelas tampang bodoh di wajahku.
“Ayo
masuk, lalu bawa Rem ke tempat Lia”
Kupejamkan
mataku seraya mengisi paru-paru dengan udara agar aku lebih siap lagi. Jantungku
mulai kembali normal secara berkala. Aku... Sudah siap dengan semuanya.
Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam gerbang tersebut bersama Puck yang mengikuti
dari belakang. Rem, tunggulah. Aku akan menyelamatkanmu...
Bersambung
Comments
Post a Comment